Bisnis.com, TASIKMALAYA- Bank Indonesia (BI) mendorong penguatan sektor pertanian berkelanjutan di kawasan Priangan Timur sebagai salah satu upaya strategis menjaga ketahanan pangan nasional dan memperkuat kemandirian ekonomi lokal.
Kawasan ini meliputi Kota dan Kabupaten Tasikmalaya, Banjar, Ciamis, dan Pangandaran, yang dikenal sebagai sentra produksi pangan di Jawa Barat.
Menurut Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Jawa Barat, Muhamad Nur, sektor pertanian di wilayah Priangan Timur memiliki kontribusi signifikan terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), yakni mencapai 23,30%.
Namun, potensi tersebut belum diikuti dengan pertumbuhan yang optimal. Dalam tiga tahun terakhir, sektor pertanian hanya tumbuh rata-rata 1,79% per tahun.
“Padahal, produksi padi dari kawasan ini mencapai 772.000 ton atau hampir 9% dari total produksi padi Jawa Barat. Ini aset ekonomi yang luar biasa besar. Namun kita juga melihat tantangan struktural yang serius, mulai dari degradasi lahan, minimnya adopsi teknologi, hingga dampak perubahan iklim,” ujar Nur dalam Laporan Perekonomian Jawa Barat Triwulan I/2025.
Ia menekankan, penguatan ekosistem pertanian organik dan berkelanjutan harus menjadi strategi utama ke depan. Hal ini sejalan dengan visi nasional dalam Asta Cita, khususnya swasembada pangan dan penguatan ketahanan energi berbasis potensi lokal.
Baca Juga
Kabupaten Ciamis disebut-sebut sebagai daerah pionir dalam pengembangan pertanian organik. Berdasarkan data Dinas Pertanian Ciamis, hingga akhir 2024 terdapat 138 petani organik yang mengelola lahan seluas hampir 50 hektare. Lahan tersebut tersebar di Kecamatan Banjaranyar, Banjarsari, Baregbeg, Ciamis, dan Cihurbeuti.
Salah satu contoh nyata adalah Kelompok Tani Parikesit di Kecamatan Pamarican. Kelompok ini telah konsisten mengembangkan budidaya padi sawah organik sejak 2017, dengan pendampingan dari NGO internasional asal Jerman dan mitra lokal Paluna Nusantara Yogyakarta.
Menurut Nur, BI telah menjadikan kelompok ini sebagai klaster binaan sejak beberapa tahun terakhir. Dukungan diberikan dalam bentuk fasilitasi pelatihan, penguatan rantai pasok, dan integrasi pemasaran produk beras organik melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).
“Kelompok Tani Parikesit kini mengelola 55 hektare lahan, dan 24 hektare di antaranya telah tersertifikasi organik nasional dan internasional. Produktivitasnya bahkan mencapai 7–8 ton per hektare, jauh di atas rata-rata padi konvensional yang hanya 6 ton,” ujarnya.
Kegiatan pertanian organik kelompok ini juga terintegrasi dengan peternakan. Kotoran sapi milik anggota kelompok dimanfaatkan sebagai bahan baku pupuk organik, menciptakan siklus produksi yang berkelanjutan dan efisien.
Tak hanya itu, gerakan swadaya seperti Gabungan Ciamis Cinta Organik (GACCORS) turut berkontribusi besar dalam inovasi pertanian hijau. Didirikan pada 2024, organisasi ini beranggotakan petani-petani muda yang memproduksi pupuk kompos alami dan menerapkan metode System of Rice Intensification (SRI).
Mereka telah membuka lahan percontohan seluas 23 hektare di 17 kecamatan dengan melibatkan 46 petani. Rata-rata produktivitas panen mencapai 9 ton per hektare, menandai potensi besar dari pendekatan pertanian berbasis ekologi.
“Ini adalah bentuk ekonomi kerakyatan yang tumbuh dari bawah. Mereka membuktikan bahwa pertanian organik bukan hanya idealisme, tapi juga menguntungkan secara bisnis,” kata Nur.
Di Kabupaten Tasikmalaya, pendekatan berbeda ditempuh melalui program Upland, proyek nasional Kementerian Pertanian yang menyasar pengembangan kawasan pertanian dataran tinggi.
Proyek ini menyentuh seluruh aspek hulu dan hilir, termasuk penyediaan alat mesin pertanian (alsintan), pengolahan pasca panen, hingga penguatan koperasi tani.
Nur menyebut, proyek Upland telah memberikan dampak positif dalam meningkatkan indeks pertanaman dan produktivitas. Berdasarkan Handbook Upland Project 2024, indeks pertanaman meningkat dari 2,32 menjadi 3,0, dan produktivitas naik dari 52,27 kuintal menjadi 58,05 kuintal per hektare.
“Ini menunjukkan pentingnya modernisasi yang disertai pembangunan ekosistem. Kalau hanya teknologi tanpa kelembagaan yang kuat, hasilnya tidak akan optimal,” katanya.
Priangan Timur, lanjut Nur, dapat menjadi lokomotif pertanian berkelanjutan di Jawa Barat, bahkan Indonesia. Dengan kolaborasi antara pemerintah daerah, komunitas petani, institusi keuangan, dan mitra pembangunan, transformasi pertanian bukan sekadar retorika.
Bank Indonesia, kata dia, siap memperkuat peran intermediasi keuangan, inklusi digital, serta pengembangan klaster pangan lokal melalui berbagai skema kemitraan.
“Kami percaya, pertanian bukan sekadar soal produksi. Ini soal ketahanan ekonomi jangka panjang. Kita harus menjaganya dengan pendekatan yang adaptif, kolaboratif, dan berbasis potensi lokal,” tegas Muhamad Nur.