Bisnis.com, BANDUNG--Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Nailul Huda menilai permintaan pemerintah kepada Pertamina untuk menurunkan harga avtur hanya akan menjadi solusi jangka pendek terkait persoalan masih tingginya harga tiket pesawat.
Menurut dia, akar permasalahan dari masih tingginya harga tiket pesawat lebih disebabkan oleh inefisiensi manajemen maskapai penerbangan.
"Kebijakan jangka pendek. Jika akar masalahnya tidak diselesaikan, seperti masalah inefisiensi dan kartel tiket pesawat, maskapai akan memiliki kebebasan untuk menaikkan tarif di atas tarif batas atas," ujar Huda di Jakarta, Minggu (23/6/2019).
Harga avtur di Indonesia, lanjutnya, tergolong paling rendah jika dibandingkan dengan harga bahan bakar di sejumlah negara, seperti Singapura dan Malaysia.
Ia menengarai sejak lama perusahaan maskapai di Tanah Air sudah mewacanakan penurunan harga avtur. Jika harga avtur turun, tambahnya, akan berdampak secara langsung terhadap pendapatan Pertamina.
"Mereka (maskapai) selalu 'mengkambinghitamkan' harga avtur. Ini akal-akalan mereka untuk menekan penyediaan harga avtur," ujarnya melalui keterangan tertulis.
Huda memperkirakan tingginya harga tiket pesawat lebih dikarenakan efisiensi manajemen maskapai yang angkanya sekitar 60 persen.
Sementara itu, avtur hanya 40 persen dari seluruh biaya komponen maskapai. Dengan demikian, harga avtur bukan satu-satunya pemicu mahalnya harga tiket pesawat.
Sebelumnya, Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso menyatakan, salah satu komponen yang berkontribusi cukup besar dalam pembentukan harga tiket pesawat adalah avtur. Menurut dia, sumbangan harga avtur dalam harga tiket pesawat mencapai 30 persen.
Dari data yang disampaikan, lanjutnya, tarif avtur Pertamina di Soekarno-Hata maupun di beberapa bandara lain, itu diklaim jauh lebih murah dibandingkan dengan di luar negeri seperti Singapura, Hong Kong, Manila, Kuala Lumpur.
"Namun, kita tetap minta coba dikaji untuk diturunkan, sanggup berapa persen," ujar Susiwijono, Kamis (20/6/2019) lalu.