Bisnis.com, BANDUNG - Pelaku industri hasil tembakau (IHT) kembali menyuarakan sikap keberatan atas rencana kebijakan simplifikasi cukai.
Pasalnya, upaya peningkatan pendapatan negara melalui reformasi fiskal ini arahnya kian meningkatkan tarif cukai rokok, serta menghidupkan kembali aturan penyederhanaan struktur tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) yang sebelumnya pernah dibatalkan.
“Mewakili para petani, kami meminta agar kenaikan cukai ditunda dengan mempertimbangkan dampaknya kepada petani tembakau. Kami juga meminta kebijaksanaan pemerintah dalam menyusun regulasi terkait IHT termasuk RPJMN 2020-2024," kata Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Agus Parmuji dalam siaran pers yang diterima Bisnis, Kamis (8/10/2020).
Terlebih lagi, kata dia, di masa pandemi yang kian berdampak pada kelambatan serapan komoditas oleh pabrikan dan harga yang anjlok. Menurut dia, petani juga berhak untuk mendapatkan penghidupan yang layak dan kepastian untuk tetap menyambung hidup.
Soal penyederhanaan tarif cukai, Agus menegaskan pihaknya sudah sejak awal menentang agenda ini.
“Kami protes sejak tahun lalu agar jangan dilaksanakan karena IHT itu terbagi besar, menengah, kecil. Keberadaan pabrikan yang beragam akan menciptakan kompetisi penyerapan tembakau lokal, khususnya yang kualitasnya sedang. Karena tembakau kualitas sedang ini paling banyak diserap industri menengah ke bawah. Makin besar kompetisi, kami (hasil tani) makin banyak dicari,”.
Forum for Socio-Economic Studies (FOSES) dalam penelitian yang dilakukannya turut mendukung sikap berkeberatan yang ditunjukan oleh Kepala Daerah maupun asosiasi petani. FOSES meninjau Aspek Ekonomi dan Hukum atas dampak kebijakan penyederhanaan tarif cukai terhadap struktur pasar industri tembakau, serta mengukur dampak kebijakan cukai terhadap heterogenitas pasar.
Dalam temuannya, Ketua tim riset FOSES Putra Perdana mengungkapkan bahwa, pertama, struktur pasar IHT bersifat oligopoli ketat. Saat ini terdapat empat pemain besar yang menguasai pasar rokok di Indonesia yang hanya menyisakan 17,2% pangsa pasar untuk pemain di tingkat kecil-menengah.
Kedua, kenaikan cukai mempengaruhi harga dan hilangnya varian brand rokok. Kenaikan cukai rokok jenis sigaret kretek mesin (SKM) dapat menghilangkan sekitar enam varian brand di pasar.
Ketiga, adanya penyamaan tarif cukai SKM ke golongan sigaret putih mesin (SPM) menyebabkan tekanan terutama setelah penyetaraan cukai pada masing-masing golongan. Cukai pada SKM golongan 1 menekan volume rokok sebesar 1,29%, setelah penyetaraan berubah menjadi 5,44%. Pada SKM golongan 2 cukai menyebabkan penurunan volume rokok sebesar 3,27% setelah sebelumnya hanya menekan volume sebesar 2,75%.
Keempat, penggabungan SPM dan SKM menyebabkan tekanan terhadap volume rokok. Penggabungan SKM dan SPM ke SM pada golongan 1 dengan batas produksi 3 miliar menyebabkan perusahaan langsung berkompetisi dengan perusahaan yang sudah mapan pada golongan tersebut. Simulasi pada satu perusahaan yang beraktivitas pada golongan 2 SKM dan SPM menunjukkan adanya potensi penurunan volume hingga 45,66 persen dari volume rokoknya.
Putra menilai, apabila aturan penyederhanaan tarif cukai ini diterapkan dapat menghasilkan dampak kontra produktif bagi industri seperti simulasi di atas.
Perwakilan konsumen dari Komunitas Kretek Aditia Purnomo turut menyampaikan pandangannya akan kebijakan-kebijakan yang kian menekan IHT. Menurutnya, dengan menjadikan cukai sebagai instrumen dalam menekan angka konsumsi rokok, tidaklah tepat.
Kekhawatiran akan meningkatnya jumlah perokok muda di bawah umur, semestinya dibarengi dengan adanya fungsi pengendalian yang dijalankan secara aktif oleh pemerintah, dan bukan melalui cukai.
“Komunitas Kretek tidak melihat adanya urgensi dalam kenaikan tarif dan penyederhanaan cukai rokok. Terlebih di masa pandemi yang berkepanjangan, fokus pemerintah semestinya bisa diarahkan pada perbaikan ekonomi terlebih dahulu."