Bisnis.com, CIREBON- Pemerintah Kabupaten Cirebon menghadapi tuntutan untuk segera memberikan solusi atas permasalahan limbah cair dari industri batik.
Limbah yang dihasilkan dari proses pewarnaan, diketahui mengandung zat kimia berbahaya yang berpotensi mencemari lingkungan jika tidak dikelola dengan baik.
Beberapa pabrik batik di wilayah Cirebon masih membuang limbah langsung ke lingkungan tanpa melalui proses pengolahan yang memadai. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan kerusakan lingkungan, terutama terhadap kualitas air dan tanah di sekitar area produksi.
Sekretaris Daerah Kabupaten Cirebon, Hilmi Rivai, mengakui pengelolaan limbah masih menjadi salah satu tantangan terbesar bagi industri batik di daerah tersebut. Pemerintah telah berupaya memberikan edukasi kepada para pengrajin dan pemilik usaha agar lebih peduli terhadap pengelolaan limbah.
Namun, kendala fasilitas dan keterbatasan dana membuat implementasi solusi menjadi lambat.
“Kami menghimbau para pelaku industri batik untuk mengolah limbah dengan benar agar tidak mencemari lingkungan. Namun, kami juga memahami bahwa sebagian pengrajin menghadapi kendala, terutama dalam hal biaya dan fasilitas untuk pengolahan limbah,” kata Hilmi, Selasa (19/11/2024).
Baca Juga
Proses produksi batik, khususnya pada tahap pewarnaan, menggunakan berbagai bahan kimia seperti pewarna sintetis dan zat penguat warna.
Tanpa pengolahan yang tepat, limbah cair ini mengandung bahan beracun yang dapat mencemari sumber air, merusak ekosistem, dan berpotensi membahayakan kesehatan masyarakat sekitar.
Di beberapa wilayah pengrajin batik di Cirebon, limbah cair seringkali dibuang langsung ke sungai atau saluran pembuangan tanpa melalui proses pengolahan.
Hal ini menimbulkan pencemaran yang meresahkan masyarakat sekitar, terutama mereka yang bergantung pada air sungai untuk kebutuhan sehari-hari.
Sebagai salah satu sentra industri batik terbesar di Indonesia, Cirebon menghadapi tekanan untuk mengatasi masalah ini tanpa mengganggu keberlangsungan industri.
Pemerintah daerah telah menggagas sejumlah inisiatif untuk membantu pengrajin batik, seperti memberikan pelatihan pengelolaan limbah dan penyediaan alat pengolahan limbah sederhana.
“Kami tengah mencari solusi yang efektif agar para pengrajin dapat mengelola limbah mereka dengan lebih baik. Salah satu upayanya adalah dengan memberikan edukasi dan pelatihan teknis terkait pengolahan limbah ramah lingkungan,” ujar Hilmi.
Namun, ia juga mengakui langkah ini belum cukup untuk mengatasi masalah secara keseluruhan. Banyak pengrajin skala kecil yang kesulitan membeli atau menggunakan alat pengolahan limbah karena keterbatasan dana.
“Masalahnya bukan hanya soal edukasi, tetapi juga soal pendanaan. Pemerintah harus bekerja sama dengan berbagai pihak untuk menyediakan fasilitas yang memadai, seperti instalasi pengolahan air limbah (IPAL) kolektif yang bisa digunakan oleh beberapa pengrajin sekaligus,” tambahnya.
Dorongan untuk Kolaborasi
Hilmi menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah, pelaku usaha, dan lembaga non-pemerintah untuk menyelesaikan masalah ini. Ia menyebutkan bahwa keberadaan IPAL kolektif atau bantuan alat pengolahan limbah dapat menjadi salah satu solusi konkret.
Selain mendorong langkah pemerintah, Hilmi juga menghimbau para pengrajin batik untuk lebih bertanggung jawab dalam mengelola limbah mereka.
Dia menyarankan agar mereka mulai menerapkan langkah-langkah sederhana untuk mengurangi dampak pencemaran, seperti menggunakan pewarna alami atau mengolah limbah sebelum dibuang.
“Kalau tidak mulai dari sekarang, dampaknya akan semakin besar bagi lingkungan. Kami harap pengrajin bisa bekerja sama dan lebih peduli terhadap lingkungan,” tutup Hilmi.