Bisnis.com, CIREBON - Mantan Penjabat (Pj) Wali Kota Cirebon sekaligus Sekretaris Daerah Kota Cirebon Agus Mulyadi disebut-sebut menjadi pihak yang memicu kontroversi kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 1.000%.
Wali Kota Cirebon Effendi Edo mengatakan aturan tersebut tertuang dalam regulasi yang diterapkan sejak 2024, ketika pucuk pimpinan kota masih dipegang oleh Pj Wali Kota.
"Keputusan 1.000 persen itu tahun 2024 saat Pj Wali Kota Cirebon terdahulu yang menjabat,” Jumat (15/6/2025).
Ia menambahkan, pihaknya kini sedang melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan tersebut. Menurut Edo, meskipun ada penyesuaian PBB di masa pemerintahannya, besaran kenaikan tidak pernah sampai di angka fantastis yang membuat warga terkejut.
"Ada kenaikan, tapi tidak sampai segitu. Tetap kita tinjau ulang agar sesuai kemampuan masyarakat,” jelasnya.
Kontroversi ini bermula dari beredarnya bukti Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) milik warga yang nilainya melonjak drastis. Salah satu kasus yang paling ramai dibicarakan adalah tagihan PBB yang naik dari Rp6,2 juta menjadi Rp65 juta hanya dalam satu tahun.
Baca Juga
Lonjakan tersebut memicu gelombang protes dan desakan agar pemerintah kota mengambil langkah konkret.
Edo menyebut, Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2024 yang menjadi landasan teknis penghitungan PBB perlu dikaji ulang karena penerapannya di lapangan menimbulkan dampak sosial yang besar.
“Kami akan cari formulasi baru yang proporsional. Prinsipnya, jangan sampai ada beban berlebihan bagi warga,” katanya.
Ia menegaskan, pemerintah kota telah berkomitmen untuk mengembalikan tarif PBB ke angka yang lebih wajar sembari menyiapkan mekanisme pembetulan bagi SPPT yang terlanjur terbit dengan nilai terlalu tinggi.
Proses ini, lanjutnya, akan melibatkan koordinasi dengan Badan Pengelolaan Keuangan dan Pendapatan Daerah (BPKPD) untuk memastikan keseragaman data.
Di sisi lain, Edo menekankan perlunya komunikasi yang jernih antara pemerintah dan masyarakat. Menurutnya, informasi yang tidak utuh dapat memicu kegaduhan dan ketidakpercayaan publik.
“Kita harus buka semua datanya, transparan. Kalau memang ada kekeliruan, harus kita akui dan perbaiki,” tuturnya.