Bisnis.com, KUNINGAN - Penerimaan pajak daerah dari sektor perhotelan di Kabupaten Kuningan mengalami lonjakan signifikan dalam tiga tahun terakhir. Badan Pengelolaan Pendapatan Daerah (Bappenda) mencatat pendapatan pajak dari hotel meningkat 73%.
Pada 2022, pendapatan pajak dari hotel tercatat sebesar Rp4,243 miliar. Angka ini kemudian melonjak menjadi Rp7,349 miliar pada 2024.
Kepala Bappenda Kabupaten Kuningan Guruh Irawan Zulkarnaen menyampaikan pertumbuhan ini tidak berdiri sendiri. Sektor restoran juga mencatatkan pertumbuhan serupa, yakni sebesar 70%. Dari semula Rp11,397 miliar pada 2022, angka tersebut meningkat menjadi Rp19,337 miliar pada 2024.
“Lonjakan hampir Rp8 miliar dari sektor restoran saja menunjukkan bahwa aktivitas ekonomi di bidang wisata kuliner juga makin menggeliat,” kata Guruh, Rabu (7/5/2025).
Tidak hanya itu, sektor hiburan juga turut memberikan kontribusi positif. Selama periode yang sama, penerimaan dari pajak hiburan naik 55,76%. Pada 2022, penerimaan dari sektor ini hanya sebesar Rp1,48 miliar, namun tahun ini meningkat menjadi Rp2,319 miliar.
Tren ini menandai perubahan orientasi ekonomi daerah. Jika sebelumnya sektor perdagangan dan perizinan mendominasi kontribusi terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD), kini sektor pariwisata perlahan mengambil alih posisi tersebut.
Baca Juga
“Pariwisata sekarang menjadi tulang punggung PAD dari sisi pajak. Hotel, restoran, dan hiburan menjadi tiga sektor utama yang terus tumbuh seiring meningkatnya kunjungan ke Kuningan,” ujar Guruh.
Menurutnya, kehadiran destinasi baru, baik yang dikelola oleh pemerintah maupun swasta, memberikan warna baru pada ekosistem wisata. Dari kawasan pegunungan, pemandian air panas, hingga desa wisata, semuanya ikut mendorong naiknya aktivitas ekonomi.
Seiring peningkatan kunjungan wisatawan, kebutuhan akomodasi dan tempat makan juga meningkat. Kondisi ini menciptakan efek domino yang mendorong pelaku usaha memperluas layanan, merekrut lebih banyak tenaga kerja, serta memperbesar cakupan bisnis mereka.
Meski pertumbuhan ini terbilang signifikan, Bappenda menilai masih ada potensi besar yang belum tergarap maksimal, terutama dari pelaku usaha kecil. Guruh menyebutkan bahwa banyak warung makan, kedai kopi, dan usaha mikro lainnya yang belum masuk dalam basis data wajib pajak.
“Kami melihat masih banyak pelaku usaha yang belum sadar pajak. Padahal, jika omzetnya sudah mencapai Rp3 juta per bulan, mereka sudah masuk dalam kategori yang harus membayar pajak,” ucapnya.
Edukasi terhadap pelaku usaha kecil menjadi tantangan tersendiri. Selain karena rendahnya literasi perpajakan, masih ada persepsi bahwa membayar pajak hanya kewajiban pengusaha besar.
“Kami terus melakukan pendekatan persuasif. Memberi edukasi bahwa pajak yang mereka bayarkan kembali lagi untuk pembangunan fasilitas umum, termasuk infrastruktur wisata,” tambahnya.
Guna mengatasi tantangan tersebut, Bappenda Kuningan mengadopsi sejumlah teknologi dalam pemungutan pajak daerah. Salah satunya adalah penerapan tapping box, perangkat yang merekam transaksi bisnis secara otomatis. Dengan alat ini, jumlah transaksi bisa diawasi secara real time oleh pemerintah daerah.
Selain itu, sistem e-billing dan pelaporan daring juga telah diterapkan. Tujuannya adalah meningkatkan kemudahan pelaporan bagi pelaku usaha serta mencegah manipulasi data.
“Digitalisasi bukan hanya soal modernisasi, tapi juga membangun kepercayaan antara pemerintah dan pelaku usaha. Semua jadi lebih transparan,” kata Guruh.
Menurutnya, pendekatan digital ini juga mendukung akurasi perhitungan potensi PAD, sekaligus mempermudah evaluasi kinerja fiskal daerah.