Bisnis.com, GARUT - Puluhan perahu nelayan di kawasan perairan Cipunaga, Kecamatan Cibalong, Kabupaten Garut, hilang setelah dihantam gelombang tinggi pada Rabu (6/8/2025). Hingga kini, sebagian besar perahu masih belum ditemukan dan kerugian ditaksir mencapai miliaran rupiah.
Satuan Polisi Air dan Udara (Satpolairud) Polres Garut telah mengerahkan personel untuk melakukan pencarian di lokasi perairan yang terdampak.
Berdasarkan data sementara, dari 47 unit perahu yang hilang, baru 12 unit berhasil ditemukan. Kondisinya memprihatinkan. Rata-rata rusak berat dan tanpa mesin. Sisanya, sebanyak 35 unit, diperkirakan tenggelam atau hanyut jauh terbawa arus laut.
“Baru 12 unit yang berhasil kita temukan, itu pun dalam kondisi rusak parah dan tanpa mesin. Total kerugian yang dialami para nelayan cukup besar, mencapai miliaran rupiah,” kata Kasat Polairud Polres Garut, Iptu Aep Saprudin, Selasa (11/8/2025).
Menurut Aep, harga satu unit perahu nelayan lengkap dengan mesin dan alat tangkap berkisar Rp75 juta. Dengan jumlah perahu yang hilang mencapai puluhan unit, nilai kerugian ekonomi bagi warga pesisir menjadi beban berat.
Pencarian dilakukan menggunakan kapal patroli Satpolairud yang dilengkapi mesin tempel 40 PK. Tim di lapangan terdiri dari personel kepolisian dan nelayan setempat. Mereka melakukan pencarian manual dengan mempertimbangkan faktor keselamatan karena kondisi gelombang laut yang masih tinggi.
Baca Juga
“Kami akan terus mencari selama cuaca memungkinkan. Namun keselamatan tim tetap menjadi prioritas, sehingga pencarian dilakukan secara hati-hati,” tambah Aep.
Peristiwa ini mengungkap persoalan lama terkait ketiadaan lokasi tambat resmi di kawasan Cipunaga. Kepala Dinas Perikanan dan Peternakan (Diskanak) Kabupaten Garut, Beni Yoga, menjelaskan, wilayah tersebut masuk dalam zona lindung Pantai Sancang. Secara aturan, kawasan ini tidak boleh dijadikan tempat penyimpanan perahu.
“Sudah kami larang agar nelayan tidak menyimpan perahu di kawasan tersebut. Kami juga sudah berkoordinasi dengan pemerintah provinsi terkait ketiadaan tempat tambat resmi,” ujar Beni.
Namun, nelayan setempat mengaku tak memiliki alternatif lain. Akibatnya, perahu tetap ditambatkan di area rawan meski risiko terjangan gelombang sangat tinggi. Ketika banjir rob atau badai laut datang, kerusakan dan kehilangan perahu tak terhindarkan.
Beni menegaskan, pemerintah daerah tidak dapat memberikan bantuan material untuk mengganti atau memperbaiki perahu yang hilang.
Alasannya, tindakan tersebut bisa dianggap melegalkan aktivitas di kawasan lindung. Bantuan yang diberikan hanya bersifat mendukung kehidupan sehari-hari nelayan, seperti paket sembako atau pelatihan keterampilan.
“Kalau kita bantu secara material, nanti seolah-olah kita melegalkan aktivitas di wilayah yang sudah ditetapkan sebagai kawasan lindung. Jadi bantuan sifatnya hanya untuk kebutuhan pokok sementara waktu,” jelasnya.
Menurutnya, solusi jangka panjang adalah penyediaan tempat tambat resmi dan aman di luar zona lindung. Namun, upaya ini memerlukan koordinasi lintas instansi serta penyelesaian persoalan lahan.
Bagi nelayan Cipunaga, kehilangan perahu berarti kehilangan sumber penghasilan utama. Sejumlah keluarga kini harus menunda melaut hingga memiliki kembali perahu dan perlengkapan tangkap.
“Tidak sedikit dari mereka yang menggantungkan hidup sepenuhnya dari hasil laut. Tanpa perahu, mereka kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari,” ungkap Aep.
Hingga berita ini diturunkan, tim Satpolairud masih melanjutkan pencarian di sekitar perairan Cipunaga dan wilayah sekitarnya. Pencarian difokuskan pada area yang diperkirakan menjadi jalur hanyut perahu.
Pihak kepolisian juga mengimbau nelayan untuk tidak menempatkan perahu di lokasi yang berisiko tinggi, terutama saat musim gelombang besar. Koordinasi dengan nelayan dan pemerintah daerah akan terus dilakukan untuk mengantisipasi kerugian serupa di masa mendatang.