Bisnis.com, BANDUNG -- Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) menilai kenaikan upah minimum provinsi (UMP) 6,5% menjadi pukulan telak terhadap dunia usaha industri padat karya.
Kenaikan UMP 6,5% yang ditetapkan pemerintah seakan melengkapi "punch jab" terhadap dunia industri padat karya secara bertubi-tubi.
Direktur Eksekutif API Danang Girindrawardana menilai seharusnya pemerintah mampu melihat kondisi usaha industri tekstil dan garmen ini secara riil. Sehingga, kebijakan yang dipilih akan dirasakan adil oleh semua pihak.
"Selain angkanya terlalu berat untuk industri padat karya, 6,5% ini juga menimbulkan ketidakpastian hukum untuk mengatur [kenaikan] upah di tahun berikutnya berapa," ungkapnya.
Ia menyontohkan, untuk upah Rp3,8 juta, kenaikan 6,5% akan memberikan tambahan Rp247.000. Sedangkan, rata-rata industri padat karya memiliki banyak pekerja, bahkan ada yang hingga 10.000-30.000 pekerja.
"Jika ini dipaksakan, maka kenaikan itu setiap bulan bisa belasan miliar, tergantung banyaknya pekerja," ungkapnya.
Baca Juga
Sedangkan, untuk sektor industri padat karya, tenaga kerja menjadi salah satu cost yang paling besar, ada di kisaran 15%-22%.
"Berbeda dengan sektor manufaktur, atau otomotif, yang mungkin cost terbesar ada di bahan baku atau teknologi." jelasnya.
Jika ini benar-benar diberlakukan flat, ia memerkirakan akan banyak pekerja yang dirumahkan oleh perusahaan. Pasalnya, peningkatan upah hingga 6,5% ini di luar perkiraan sebelumnya.
Pasalnya, ia mengatakan, kontrak produksi industri padat karya itu sudah dilakukan setahun sebelum berjalan. Artinya, dengan kenaikan upah 6,5% ini, akan ditanggung dengan kontrak yang sebenarnya komponen kenaikan upah sebesar itu belum terhitung.
"Ada perbedaan dari rencana biaya upah, maka kontrak itu harus ditinjau ulang? apakah brand mau menyesuaikan dengan kontrak yang baru dengan memasukan komponen upah yang baru atau malah batal karena production cost-nya berubah signifikan," jelasnya.
Selain upah, sektor padat karya juga sudah dibuat pusing dengan tidak selesainya oal regulasi untuk membatasi produk impor di pasar domestik.
"Pemerintah belum bisa mengatasi, penegakan hukum juga belum bisa mengatasi," ungkapnya.
Tak hanya itu, mereka juga diakuinya masih was-was dengan kepastian penerapan PPN 12% yang juga akan berpengaruh terhadap bisnis industri padat karya.
Rangkaian pukulan terakhir yang masih akan membuat mereka harus memutar otak untuk tetap bertahan adalah soal kenaikan tarif listrik.
"Ini jadi rangkaian jab punch yang dihujamkan terhadap industri padat karya kita, pukulan ini bisa membuat kita KO [Knock Out] atau pingsan lebih lama" jelasnya.
Untuk itu, ia meminta pemerintah untuk mengkaji ulang agar seminimal mungkin bisa memberikan upah khusus bagi industri padat karya yang memang menjadikan SDM ini variable ongkos produksi terbesar.
"Sedang mencoba berkomunikasi dengan bapak presiden [Prabowo Subianto] secara langsung, untuk memperhatikan situasi terutama di industri padat karya, kita memohonkan pada beliau untuk memberikan dispensasi atau pengecualian di industri padat karya," jelasnya.
Saat ini, menurutnya ada lebih dari 600 industri padat karya mulai dari yang kecil hingga yang besar menunggu kebijakan ini, sekaligus untuk menyelamatkan 3,7 juta pekerja yang mencari nafkah di industri ini.