Bisnis.com, CIREBON - Nama Suhendrik sempat mencuat di kancah politik Kota Cirebon ketika ia mencalonkan diri sebagai Wakil Wali Kota pada Pilkada 2024.
Namun, nasibnya berubah drastis setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkannya sebagai salah satu tersangka dalam kasus dugaan korupsi dana iklan Bank BJB yang merugikan negara hingga Rp222 miliar.
Suhendrik dikenal sebagai seorang pengusaha di bidang periklanan dan komunikasi. Ia merupakan pengendali beberapa agensi periklanan, termasuk PT Wahana Semesta Bandung Ekspres (WSBE) dan PT BSC Advertising, yang beroperasi di sektor media dan promosi.
Berkat jaringan bisnisnya yang luas, ia merabmbah merambah dunia politik dan ikut serta dalam kontestasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 di Kota Cirebon. Sebagai calon Wakil Wali Kota, Suhendrik mendampingi Eta Herawati sebagai Wali Kota Cirebon.
Kampanyenya berfokus pada isu pembangunan ekonomi, transparansi pemerintahan, dan pemberdayaan UMKM. Namun, langkahnya menuju kursi kepemimpinan mendadak terhenti ketika namanya terseret dalam pusaran skandal korupsi.
Kasus yang menjerat Suhendrik berawal dari dugaan penyalahgunaan dana promosi Bank BJB periode 2021 hingga pertengahan 2023. Berdasarkan temuan KPK, total anggaran promosi yang dialokasikan oleh bank milik daerah ini mencapai Rp409 miliar.
Baca Juga
Namun, dari jumlah tersebut, sekitar Rp222 miliar tidak digunakan sesuai peruntukan dan diduga diselewengkan oleh sejumlah pihak, termasuk Suhendrik.
Sebagai pengendali agensi yang mengelola dana iklan Bank BJB, Suhendrik diduga berperan dalam skema korupsi dengan menyalurkan dana ke pihak-pihak tertentu tanpa melalui prosedur yang seharusnya.
Dana yang seharusnya digunakan untuk pemasangan iklan di berbagai media justru dipakai untuk kepentingan pribadi dan politik. KPK menetapkan Suhendrik sebagai salah satu dari lima tersangka dalam kasus ini. Selain dirinya, ada pula Direktur Utama nonaktif Bank BJB, Yuddy Renaldi; Pimpinan Divisi Corporate Secretary Bank BJB, Widi Hartoto; serta dua pengusaha periklanan lainnya, Ikin Asikin Dulmanan dan Sophan Jaya Kusuma.
Modus Operandi dan Aliran Dana
Modus operandi yang digunakan dalam kasus ini melibatkan kerja sama antara pejabat Bank BJB dan sejumlah agensi periklanan. Dana promosi yang seharusnya digunakan untuk kegiatan pemasaran disalurkan melalui enam agensi periklanan yang dikendalikan oleh para tersangka.
Selisih antara dana yang diterima agensi dari Bank BJB dan yang dibayarkan ke media mencapai Rp222 miliar. Selisih inilah yang diduga digunakan sebagai dana non-budgeter oleh pihak-pihak terkait.
KPK menduga dana non-budgeter tersebut digunakan untuk berbagai kepentingan yang tidak sesuai dengan peruntukannya, termasuk kemungkinan pendanaan kegiatan politik dan kepentingan pribadi para tersangka.
Dalam penyelidikan kasus ini, KPK telah melakukan penggeledahan di 12 lokasi, termasuk rumah Suhendrik dan beberapa kantor yang terkait dengan Bank BJB.
Dari penggeledahan tersebut, penyidik menyita sejumlah barang bukti, di antaranya dokumen keuangan, catatan transaksi, serta aset bernilai tinggi. Selain itu, KPK juga menyita deposito senilai Rp70 miliar, kendaraan mewah, dan aset tanah serta bangunan yang diduga berasal dari hasil korupsi.
Beberapa aset ini disebut-sebut berhubungan dengan pihak-pihak yang memiliki keterkaitan dengan Suhendrik.