Bisnis.com, GARUT - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Kabupaten Garut tidak menunjukkan perubahan signifikan dalam upaya menurunkan angka kemiskinan pascapandemi Covid-19.
Meski berbagai intervensi telah dilakukan pemerintah daerah maupun pusat, jumlah dan persentase penduduk miskin di Garut pada 2024 nyaris stagnan dibanding dua tahun terakhir. Kondisi ini mencerminkan masih lemahnya daya beli masyarakat serta belum pulihnya ekonomi lokal secara menyeluruh.
Data BPS Garut menunjukkan, pada 2024 terdapat 259.300 jiwa penduduk miskin, setara dengan 9,68% dari total populasi. Angka ini hanya sedikit menurun dari 260.480 jiwa (9,77%) pada 2023 dan 276.670 jiwa (10,42%) pada 2022.
Di sisi lain, garis kemiskinan terus meningkat dari Rp320.050 per kapita per bulan pada 2021 menjadi Rp393.464 pada 2024.
Kepala BPS Kabupaten Garut Nevi Hendri menjelaskan meskipun angka kemiskinan menurun secara nominal, namun perubahan tersebut tergolong sangat kecil dan belum mencerminkan perbaikan struktural ekonomi daerah.
“Secara teknis, angka kemiskinan memang turun. Tapi ini bukan hasil dari peningkatan kesejahteraan, melainkan karena penyesuaian teknis dan pengaruh inflasi terhadap konsumsi minimum,” ujar Nevi, Jumat (9/5/2025).
Baca Juga
“Secara substansial, kehidupan masyarakat miskin belum banyak berubah.”
Menurut Nevi, dampak pandemi yang sempat mendorong kenaikan angka kemiskinan di 2020 dan 2021 belum sepenuhnya teratasi. Data mencatat lonjakan signifikan penduduk miskin pada masa tersebut, dari 235.190 jiwa (8,98%) pada 2019 menjadi 281.360 jiwa (10,65%) pada 2021.
“Pandemi menyebabkan gelombang pemutusan hubungan kerja dan penurunan pendapatan rumah tangga secara drastis. Setelah itu, pemulihan ekonomi berjalan lambat karena sektor informal dan pertanian—yang mendominasi Garut—masih tertatih,” jelasnya.
Kenaikan garis kemiskinan dari Rp267.252 pada 2017 menjadi Rp393.464 pada 2024 menandakan bahwa kebutuhan dasar hidup semakin mahal.
Namun, peningkatan ini tidak diiringi dengan lonjakan pendapatan masyarakat kelas bawah. Akibatnya, meski jumlah penduduk miskin secara statistik tidak melonjak tajam, tekanan ekonomi justru semakin dirasakan oleh kelompok rentan.
“Garis kemiskinan ini mencerminkan nilai rupiah minimum yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan non-makanan. Ketika garis ini naik, tapi penghasilan masyarakat tidak ikut naik, maka artinya secara riil mereka semakin tertekan,” tutur Nevi.
Ia menambahkan, salah satu penyumbang terbesar terhadap pengeluaran penduduk miskin adalah harga bahan pokok yang fluktuatif, seperti beras, minyak goreng, dan gas elpiji.
BPS juga mencatat, sebagian besar penduduk miskin di Garut memiliki tingkat pendidikan rendah, bekerja di sektor informal, dan tinggal di wilayah pedesaan yang jauh dari akses infrastruktur memadai. Kondisi ini membuat proses keluar dari kemiskinan menjadi lebih lambat.
“Sebagian besar dari mereka tidak memiliki keterampilan yang memadai untuk beralih ke pekerjaan dengan upah lebih tinggi. Mereka juga kesulitan mengakses layanan kesehatan dan pendidikan berkualitas, sehingga rantai kemiskinan ini terus berlangsung lintas generasi,” ujar Nevi.
Ia menyoroti perlunya perbaikan akses pendidikan kejuruan dan pelatihan kerja bagi kaum muda desa, serta insentif untuk UMKM lokal agar dapat menyerap lebih banyak tenaga kerja.
Selama pandemi, pemerintah telah meluncurkan berbagai bantuan sosial seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), hingga Bantuan Langsung Tunai (BLT).
Namun, efektivitas program ini dalam mengurangi kemiskinan jangka panjang dinilai masih belum optimal.
“Bantuan itu sangat berguna untuk jangka pendek, apalagi saat kondisi darurat seperti pandemi. Tapi untuk pengentasan kemiskinan jangka panjang, kita butuh strategi pembangunan ekonomi lokal yang berkelanjutan,” terang Nevi.
Ia mendorong agar alokasi dana desa dan anggaran APBD diarahkan secara lebih strategis, misalnya dengan fokus pada pembangunan ekonomi produktif, ketahanan pangan, dan pemberdayaan masyarakat berbasis potensi wilayah.
Nevi menegaskan pentingnya kolaborasi antara pemerintah, swasta, dan masyarakat sipil dalam menciptakan lapangan kerja baru dan meningkatkan produktivitas sektor unggulan seperti pertanian, peternakan, dan pariwisata.
Selain itu, pemanfaatan teknologi digital juga harus ditingkatkan agar pelaku ekonomi lokal tidak tertinggal. “Transformasi ekonomi lokal harus berbasis data dan inovasi. Kita perlu memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi benar-benar menyentuh lapisan bawah masyarakat,” tegasnya.