Bisnis.com, CIREBON - Koperasi Pesantren Al Azhariyah, selaku pengelola aktivitas pertambangan di kawasan Gunung Kuda, Kabupaten Cirebon, tercatat hanya menyumbang pendapatan asli daerah (PAD) sebesar Rp6 juta hingga Rp7 juta per bulan.
Kontribusi tersebut dihitung berdasarkan sistem ritase atau jumlah angkutan material yang keluar dari lokasi tambang.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kabupaten Cirebon, Sudiharjo mengatakan, pemasukan dari aktivitas tambang yang dikelola pesantren tersebut tergolong sangat kecil, terlebih jika dibandingkan dengan potensi riil yang ada di wilayah tersebut.
“Kontribusi dari tambang yang dikelola Ponpes Al Azhariyah hanya sekitar Rp6 juta sampai Rp7 juta per bulan. Itu berdasarkan ritase. Dan terakhir pembayaran pajaknya tercatat sampai April 2025,” ujar Sudiharjo, Minggu (8/6/2025).
Gunung Kuda merupakan salah satu kawasan perbukitan di Kabupaten Cirebon yang selama bertahun-tahun menjadi lokasi tambang material galian C, seperti batu dan tanah urug.
Sejumlah pihak telah lama menyuarakan kekhawatiran soal kerusakan lingkungan dan lemahnya kontrol pemerintah terhadap kegiatan penambangan di wilayah itu.
Baca Juga
Sudiharjo mengungkapkan, skema pungutan PAD dari aktivitas tambang ini dilakukan berdasarkan perhitungan jumlah ritase kendaraan pengangkut material. Namun, ia mengakui, pengawasan dan pencatatan jumlah ritase masih menjadi tantangan tersendiri di lapangan.
“Kita hanya bisa memungut berdasarkan laporan ritase,"” tambahnya.
Minimnya kontribusi dari sektor pertambangan ini kembali menjadi sorotan setelah terjadinya insiden longsor maut di kawasan Gunung Kuda pada akhir Mei 2025, yang menewaskan sejumlah pekerja tambang.
Tragedi ini memicu perhatian luas terhadap aspek keselamatan kerja, izin operasi, serta kontribusi ekonomi dari aktivitas tambang ilegal maupun semi-legal di kawasan tersebut.
Dari sisi ekonomi daerah, Gunung Kuda seharusnya menjadi sumber PAD yang signifikan jika dikelola dengan baik dan transparan. Namun kenyataannya, pemasukan yang diterima pemerintah daerah dari pengelolaan tambang oleh pihak pesantren justru sangat kecil.
“Kalau dilihat dari perputaran ekonomi di tambang Gunung Kuda, angka Rp7 juta per bulan itu sangat tidak sebanding. Potensinya jauh lebih besar,” kata Sudiharjo.
Gunung Kuda, sebuah kawasan tambang batu alam di lereng Cirebon, Jawa Barat, mendadak berubah menjadi kuburan massal pada Jumat (30/5/2025) pagi.
Tanah di tebing curam itu longsor seketika, menyapu bersih belasan pekerja tambang beserta alat berat yang tengah beroperasi di bawahnya. Tiga ekskavator dan enam truk tertimbun tanpa ampun, sementara suara jeritan dan deru mesin mendadak hilang diganti oleh debu pekat dan kepanikan.
Sejak awal tahun, berbagai pihak telah memperingatkan soal potensi bencana di tambang itu. Dinas ESDM Jawa Barat dan kepolisian setempat bahkan mengeluarkan imbauan keras agar aktivitas dihentikan, mengingat struktur tanah yang tidak stabil dan cara penambangan dari bawah tebing yang rawan ambruk.
Jumlah korban tewas mencapai 25 orang, 21 lainnya masih dinyatakan hilang dan empat lainnya tertimbun di bawah lapisan batu setebal belasan meter.
Tak hanya itu, dua orang pengelola—pemilik dan pengawas tambang—resmi ditetapkan sebagai tersangka dengan ancaman hukuman hingga 15 tahun penjara.