Bisnis.com, CIREBON - Sejumlah orang tua siswa di SMP Negeri 1 Sumber, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, mengeluhkan kewajiban membeli paket buku pelajaran yang nilainya mencapai ratusan ribu rupiah.
Kewajiban itu dinilai membebani ekonomi keluarga, terlebih menjelang tahun ajaran baru yang diiringi dengan berbagai pengeluaran lain.
Berdasarkan data yang diperoleh dari orang tua siswa, total harga paket buku untuk kelas 9 mencapai lebih dari Rp900.000 per siswa. Rincian daftar harga itu mencakup 11 mata pelajaran, dengan harga per buku bervariasi mulai dari Rp 48.000 hingga Rp115.000.
Salah satu orang tua siswa yang enggan disebutkan namanya mengaku merasa keberatan, terlebih karena pengadaan buku tersebut tidak memiliki pilihan alternatif.
“Kami tidak diberi pilihan, harus beli semua. Kalau tidak, anak nanti katanya tidak bisa ikut pelajaran dengan maksimal,” ujar bapak yang sehari-hari bekerja sebagai pedagang.
Menurutnya, di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih pascapandemi dan harga kebutuhan pokok yang terus naik, kewajiban semacam ini terasa tidak adil. “Sekolah negeri seharusnya bisa lebih peka, bukan malah seperti toko buku,” tambahnya.
Baca Juga
Daftar harga buku paket yang diwajibkan untuk siswa di SMPN 1 Sumber, Kabupaten Cirebon, mencakup berbagai mata pelajaran dengan total nominal yang cukup besar. Buku Bupena Bahasa Indonesia dibanderol seharga Rp 102.000, Matematika Rp 79.000, PAI dan Budi Pekerti Rp 76.000, serta Bright English Rp 98.000.
Untuk mata pelajaran lainnya, IPA dijual seharga Rp52.000, IPS Rp48.000, Pendidikan Pancasila Rp109.000, Seni Musik Rp77.000, PJOK Rp106.000, Simpay Basa Sunda Rp95.000, dan Informatika mencapai Rp115.000.
Keluhan tidak hanya berhenti pada harga. Sejumlah orang tua juga mempertanyakan transparansi pengadaan buku. “Kami tidak diberi tahu kenapa harganya segitu. Apakah melalui koperasi sekolah? Apakah dari penerbit langsung? Kami tidak tahu,” ungkapnya.
Dia juga menyebutkan, tidak ada sosialisasi resmi dari pihak sekolah soal kebijakan pembelian buku tersebut, dan para orang tua hanya diberi selebaran harga lalu diarahkan untuk segera membayar.
Dihubungi terpisah, Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Cirebon, Ronianto mengaku, belum menerima laporan resmi dari masyarakat terkait dugaan pungutan tersebut. Namun pihaknya berjanji akan melakukan penelusuran.
“Kami akan klarifikasi langsung ke sekolah. Jika benar ada kewajiban membeli buku tanpa musyawarah komite dan tanpa dasar aturan, itu bisa melanggar ketentuan," katanya.
Sekolah, khususnya sekolah negeri, dilarang menjual buku pelajaran kepada siswa dalam bentuk apa pun. Aturan ini ditegaskan dalam sejumlah regulasi nasional untuk mencegah praktik komersialisasi pendidikan dan memastikan siswa tidak dibebani biaya tambahan di luar ketentuan resmi.
Larangan tersebut antara lain tercantum dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah.
Dalam aturan itu disebutkan bahwa sekolah maupun komite tidak diperkenankan menjadi distributor atau pengecer buku pelajaran, seragam, dan perlengkapan lainnya. Penjualan buku oleh pihak sekolah juga dinilai sebagai pungutan tidak sah.
Selain itu, Permendikbud Nomor 8 Tahun 2016 mengatur buku pelajaran wajib yang digunakan di sekolah seharusnya dibeli menggunakan dana bantuan operasional sekolah dan dipinjamkan secara gratis kepada siswa.
Dengan demikian, sekolah tidak memiliki dasar hukum untuk memaksa siswa membeli buku, apalagi jika pembelian dilakukan langsung di sekolah.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pemerintah dan pemerintah daerah juga berkewajiban menyediakan sumber belajar bagi siswa. Artinya, beban penyediaan buku pelajaran bukan tanggung jawab orang tua atau siswa, melainkan ditanggung negara.
Jika ada sekolah yang tetap menjual buku atau memaksa siswa membeli paket buku tertentu, orang tua dapat melaporkannya ke Dinas Pendidikan setempat atau Ombudsman RI. Praktik semacam itu berpotensi melanggar hukum dan bisa dikategorikan sebagai pungutan liar.