Bisnis.com, CIREBON - Upaya Pemerintah Kabupaten Cirebon menata Kawasan Batik Trusmi dengan memindahkan pedagang kaki lima (PKL) dari sepanjang Jalan Syekh Datul Kahfi ke area sekitar Centra Batik Trusmi, Kecamatan Weru belum menunjukkan hasil.
Alih-alih ramai pengunjung, para pelaku usaha mikro kecil menengah (UMKM) di sentra tersebut justru mengaku penjualan tetap lesu.
Dalam pantauan lapangan, kios-kios batik yang berjajar rapi di bangunan permanen itu sebagian besar terlihat lengang. Hanya sesekali ada pembeli yang datang, itupun jumlahnya bisa dihitung dengan jari.
Beberapa pelaku UMKM menyebut, dalam sehari mereka hanya mampu melayani dua hingga tiga konsumen. Jumlah itu jauh dari harapan, mengingat kawasan Trusmi dikenal sebagai pusat batik terbesar di Cirebon bahkan Jawa Barat.
Seorang pengelola kios menuturkan, kondisi ini sudah berlangsung sejak lama. Pemindahan PKL ke dalam kawasan Centra Batik Trusmi tidak otomatis mendatangkan arus pengunjung. Wisatawan maupun pembeli batik tetap lebih banyak memilih toko besar di jalur utama Jalan Syekh Datul Kahfi.
“Bangunan bagus, tertata, tapi orang jarang masuk. Itu juga orang yang pulang beli empal gentong. Kadang sehari penuh tidak ada pembeli sama sekali,” kata Sarah, Senin (18/8/2025).
Baca Juga
Penataan kawasan batik yang dilakukan pemerintah daerah sejatinya bertujuan menciptakan kenyamanan lalu lintas di jalur utama serta memberikan wadah representatif bagi UMKM batik.
Jalan Syekh Datul Kahfi kerap macet akibat banyaknya PKL yang berjualan di tepi jalan. Dengan dipindahkan ke sekitar sentra, pemerintah berharap masalah kemacetan berkurang dan citra kawasan batik semakin tertata.
Namun, ekspektasi itu tidak sepenuhnya berbanding lurus dengan realitas di lapangan. Para pelaku usaha menilai pemindahan lokasi berjualan justru mengurangi visibilitas dagangan mereka.
Lokasi sentra yang sedikit masuk ke dalam dari jalan utama membuat banyak pengendara maupun rombongan wisatawan enggan singgah.
Selain persoalan lokasi, masalah promosi juga menjadi sorotan. Hingga kini, sentra batik tersebut belum dikelola dengan pendekatan yang mampu menarik wisatawan.
Tidak ada agenda rutin, event budaya, maupun strategi pemasaran digital yang bisa mendatangkan pengunjung secara konsisten. Akibatnya, sentra yang semestinya menjadi magnet ekonomi justru tampak seperti bangunan kosong.
Menurut Sarah, kondisi ini diperparah dengan perubahan pola belanja masyarakat. Di era digital, pembelian batik semakin banyak dilakukan secara daring melalui marketplace maupun media sosial.
"Kami UMKM yang belum beradaptasi dengan platform digital semakin sulit menjangkau konsumen," ujarnya.
Di sisi lain, wisatawan yang datang ke Cirebon cenderung memilih toko-toko besar dengan fasilitas lengkap. Mulai dari area parkir luas, pendingin ruangan, hingga layanan pembayaran nontunai. Sementara itu, kios kecil di sentra masih terbatas dari sisi fasilitas, sehingga kalah bersaing.
Bagi para UMKM, kondisi ini berdampak serius terhadap keberlangsungan usaha. Banyak pedagang mengaku omzet mereka anjlok tajam setelah dipindahkan ke dalam sentra.
Jika sebelumnya masih bisa meraup pemasukan dari pembeli yang lewat jalan utama, kini mereka harus berhadapan dengan situasi sepi yang terus-menerus.
Sebagian pedagang bahkan mengaku harus menutup kios lebih awal karena tidak ada transaksi yang terjadi sepanjang hari. Situasi ini menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya gelombang penutupan usaha, yang tentu saja merugikan sektor ekonomi rakyat.
“Kami tetap bayar sewa, tetap keluar biaya listrik dan tenaga, tapi hasilnya tidak ada. Kalau begini terus, pedagang kecil bisa gulung tikar,” keluh Sarah.
Industri batik di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat mengalami stagnasi dalam lima tahun terakhir. Meski nilai investasi dan produksi menunjukkan kenaikan tipis, tidak ada lonjakan berarti dalam jumlah perusahaan maupun tenaga kerja sejak tahun 2020 hingga pertengahan 2025.
Kondisi ini menjadi cermin tantangan struktural yang dihadapi sektor unggulan warisan budaya tersebut.
Berdasarkan data yang dihimpun Bisnis.com, jumlah perusahaan batik hanya naik dua unit dalam lima tahun. Pada tahun 2020, tercatat ada 595 perusahaan batik, dan angka itu tetap stagnan di 597 perusahaan dari tahun 2021 hingga 2025.
Artinya, tidak ada penambahan signifikan yang menandakan ekspansi usaha secara umum.
Situasi stagnan juga terjadi pada aspek ketenagakerjaan. Selama lima tahun, jumlah tenaga kerja di sektor batik tetap berada di angka 5.983 orang. Tidak ada pertumbuhan berarti yang menunjukkan peningkatan kapasitas serapan tenaga kerja, meski industri lain di Cirebon seperti konveksi atau roti mengalami dinamika naik.
Nilai investasi industri batik mengalami peningkatan tipis dari Rp39,2 miliar pada 2020 menjadi Rp39,7 miliar pada 2024. Kenaikan sekitar Rp551 juta selama lima tahun tersebut menjadi satu-satunya indikator yang bergerak, meski skalanya belum mampu mendorong transformasi signifikan terhadap pertumbuhan industri.
“Tren investasi memang naik, tapi masih bersifat konservatif. Artinya, pelaku industri batik cenderung bertahan daripada berekspansi. Ini menandakan iklim usaha yang masih belum cukup mendukung untuk lompatan industri,” ungkap laporan resmi Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kabupaten Cirebon.
Produksi batik selama lima tahun terakhir juga memperlihatkan stagnasi yang sama. Kapasitas produksi pada 2020 mencapai 42.104 kodi, dan secara perlahan meningkat menjadi 42.782 kodi pada 2024.
Kenaikan sekitar 678 kodi selama lima tahun atau rata-rata hanya 135 kodi per tahun ini menjadi bukti lambatnya pertumbuhan kapasitas produksi di lapangan.
Adapun nilai produksi industri batik juga menunjukkan stagnasi pada angka Rp678 juta per tahun dari 2020 hingga 2023, sebelum naik tipis menjadi Rp688 juta pada tahun 2024.
Kenaikan Rp10 juta itu tergolong minor jika dibandingkan dengan sektor-sektor lain seperti konveksi yang terus meningkat signifikan dari sisi nilai produksi dan kapasitas industri.