Bisnis.com, CIREBON – Harga garam di tingkat petani di Kabupaten Cirebon saat ini relatif bagus, berkisar Rp900 hingga Rp1.000 per kilogram.
Namun, situasi tersebut tidak sepenuhnya membawa keuntungan bagi petani, sebab produksi garam terganggu akibat kondisi cuaca yang tidak bersahabat.
Sejak Mei 2025, para petani garam di sejumlah sentra produksi di pesisir Cirebon, khususnya di Kecamatan Pangenan dan sekitarnya, sudah mulai mengolah lahan untuk musim produksi.
Namun, harapan itu terkendala karena musim kemarau tahun ini tidak kering seperti biasanya. Hujan yang masih turun hampir setiap bulan dan banjir rob yang terus merendam tambak membuat lahan garam sulit menghasilkan kristal putih.
“Jadi sekarang itu katanya kemarau basah, jadi setiap bulannya pasti ada saja hujan. Kalau hujan dan lahan garamnya terus dilanda air rob, kami tidak bisa produksi,” kata Ismail Marzuki, petani garam asal Desa Rawaurip, Kecamatan Pangenan, Selasa (26/8/2025).
Menurutnya, kondisi tersebut membuat banyak petani memilih menghentikan aktivitas produksi. Sebagian besar tambak ditinggalkan, meski sejak awal musim mereka sudah mengeluarkan modal untuk persiapan.
Baca Juga
“Yang sudah bisa panen baru beberapa orang saja. Itupun jumlahnya sangat sedikit. Mayoritas petani memilih menunggu cuaca membaik,” ujarnya.
Ismail menuturkan, sejak awal musim ia sudah mengeluarkan biaya cukup besar. Mulai dari sewa lahan, pembelian material, hingga perbaikan tanggul tambak yang rusak diterjang rob. Namun, biaya tersebut belum menghasilkan keuntungan karena proses produksi terus terhambat.
“Modal sudah banyak dikeluarkan, tapi belum bisa menghasilkan karena kami belum bisa produksi,” ucapnya.
Situasi serupa dialami Moh Asral, petani garam lain di wilayah yang sama. Ia mengaku hanya sekali merasakan panen tahun ini dengan hasil kurang dari 100 kilogram. Setelah itu, hujan deras kembali mengguyur sehingga lahan garamnya tak lagi bisa diolah.
Ia menambahkan, kondisi ini membuat semangat sebagian petani menurun. Tidak sedikit yang memutuskan berhenti sementara, meski harga garam di pasar saat ini cukup menguntungkan.
“Informasinya harga di petani sekarang lagi bagus, ada yang Rp900 sampai Rp1.000 per kilogram. Tapi bagusnya harga tidak bisa dirasakan karena kami tidak bisa produksi,” ucapnya.
"Saya baru sekali merasakan panen garam tahun ini. Itu pun hanya dapat kurang dari 100 kg. Karena sampai sekarang hujan terus mengguyur, saya sudah tinggalkan lahan,” kata Asral.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebut fenomena tahun ini sebagai kemarau basah, di mana curah hujan tetap turun meski sudah masuk musim kemarau. Kondisi tersebut memperparah kerentanan wilayah pesisir Cirebon yang kerap dilanda rob.
Bagi petani garam, cuaca merupakan faktor paling menentukan. Proses penguapan air laut untuk menghasilkan garam membutuhkan panas matahari stabil dan tanpa gangguan air hujan. Ketika hujan masih turun dan air rob merendam tambak, siklus produksi terhenti.
Secara ekonomi, keadaan ini mengakibatkan pasokan garam dari tingkat petani berkurang. Padahal, permintaan garam industri maupun konsumsi rumah tangga tetap tinggi. Dalam jangka panjang, jika cuaca tak kunjung membaik, suplai garam lokal dikhawatirkan tidak bisa memenuhi kebutuhan pasar domestik.
Meski harga di tingkat petani sekarang dianggap bagus, kondisi minimnya pasokan berpotensi menimbulkan gejolak harga di pasar lebih luas. Sejumlah kalangan menilai, jika cuaca ekstrem ini berlangsung lama, kebutuhan industri bisa kembali mengandalkan garam impor.
Cirebon selama ini dikenal sebagai salah satu sentra produksi garam rakyat di Jawa Barat. Ribuan hektare lahan di pesisir utara kerap menjadi tumpuan pasokan bagi sejumlah daerah. Namun, ketergantungan pada iklim menjadi tantangan utama dalam menjaga produktivitas.
Untuk saat ini, mayoritas petani garam di Cirebon memilih menunggu perubahan cuaca. Mereka berharap beberapa pekan mendatang kondisi benar-benar kering, sehingga lahan bisa kembali diproduksi. Namun, ketidakpastian iklim membuat banyak petani menahan diri agar tidak terus merugi.
“Kalau cuaca mendukung, mungkin kami bisa mulai lagi. Tapi kalau seperti ini terus, lebih baik berhenti dulu daripada terus keluar modal,” ujar Ismail.