Bisnis.com, GARUT - Perajin kulit di kawasan Sukaregang, Kabupaten Garut, semakin kewalahan menghadapi gempuran produk kulit sintetis pabrikan yang kian membanjiri pasar.
Kawasan yang sejak puluhan tahun dikenal sebagai sentra kerajinan kulit terbesar di Indonesia itu kini harus berhadapan dengan tantangan persaingan harga dan perubahan perilaku konsumen.
Di sepanjang Jalan Ahmad Yani hingga kawasan Sukaregang, toko dan bengkel produksi kulit masih berjejer. Jaket, sepatu, tas, dan dompet berbahan kulit asli tetap dipajang sebagai daya tarik wisata belanja. Namun, penjualan tak seramai dulu.
Wisatawan yang datang kini lebih selektif dan umumnya hanya membeli satu hingga dua produk, berbeda dengan masa lalu ketika mereka pulang dengan membawa banyak barang.
Produk kulit sintetis dinilai menjadi faktor utama turunnya penjualan. Barang pabrikan tersebut ditawarkan dengan harga jauh lebih murah, bahkan bisa sepertiga dari harga produk kulit asli.
Perajin lokal mengakui sulit bersaing dalam hal harga, meski mereka menekankan keunggulan kualitas dan daya tahan produk kulit asli yang bisa bertahan hingga belasan tahun.
Baca Juga
Asep Suherman, perajin kulit yang sudah menekuni usaha sejak 1990 mengatakan, konsumen kerap lebih melihat harga ketimbang kualitas.
"Produk sintetis biasanya hanya bertahan dua hingga tiga tahun sebelum rusak. Namun, tantangan terbesar tetap ada pada upaya meyakinkan pembeli untuk menjadikan produk kulit asli sebagai investasi jangka panjang," kata Asep, Selasa (26/8/2025).
Untuk menyiasati kondisi pasar, sejumlah perajin mulai memanfaatkan jalur pemasaran digital. Media sosial, marketplace, hingga situs pribadi digunakan untuk menjangkau konsumen di berbagai daerah bahkan luar negeri.
Beberapa pelaku usaha menyebut penjualan secara daring mampu sedikit mengimbangi lesunya transaksi di toko fisik.
“Sekarang konsumen bisa memesan melalui Instagram atau marketplace, lalu kami kirim ke berbagai kota. Ada juga pesanan desain khusus dari luar negeri,” ujar Asep.
Meski digitalisasi membuka peluang baru, perajin tetap menilai dukungan pemerintah sangat dibutuhkan. Mereka berharap ada fasilitasi berupa pelatihan desain, pemasaran digital, serta akses ke pameran tingkat nasional maupun internasional.
Selain itu, perajin juga menilai infrastruktur pariwisata Garut perlu diperkuat agar wisata belanja kulit Sukaregang bisa menjadi magnet tambahan bagi wisatawan.
Menurut Asep, industri kulit Sukaregang berakar sejak puluhan tahun lalu. Awalnya hanya berupa usaha kecil di rumah-rumah warga, sebelum berkembang menjadi sentra ekonomi rakyat.
Hampir setiap keluarga di kawasan itu terhubung dengan bisnis kulit, baik sebagai produsen, pengrajin, maupun pedagang. Tradisi tersebut masih dipertahankan hingga kini meski tekanan pasar semakin berat.
"Sukaregang bukan hanya soal bisnis, tapi juga soal menjaga warisan budaya. Mereka menilai jika aktivitas produksi berhenti, maka tradisi mengolah kulit bisa hilang dari generasi mendatang," kata Asep.
Di tengah persaingan global, para pelaku usaha kulit Sukaregang terus berupaya menyesuaikan strategi, mulai dari inovasi desain, memperluas pemasaran digital, hingga mencari dukungan promosi.
Mereka berharap kombinasi antara ketahanan pengrajin dan intervensi kebijakan mampu menjaga sentra kulit Garut agar tetap bertahan sebagai pusat kerajinan kulit terbesar di Indonesia.