Bisnis.com, CIREBON - Pemerintah Kota Cirebon menyatakan kesiapannya untuk menurunkan tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2), meskipun belum memberikan kepastian kapan penyesuaian itu mulai berlaku.
Janji ini muncul setelah gelombang aspirasi dari masyarakat yang mendesak agar tarif dikembalikan seperti pada 2023. Aspirasi itu dipicu penerapan Peraturan Daerah (Perda) Kota Cirebon Nomor 1 Tahun 2024, yang mengatur mekanisme baru penetapan PBB-P2.
Beberapa warga mengklaim penyesuaian tarif ini mengakibatkan lonjakan beban pajak hingga ratusan persen, bahkan ada yang menyebutnya mencapai 1.000%.
Wali Kota Cirebon Effendi Edo membantah kabar kenaikan yang dianggap terlalu ekstrem tersebut. Dia menegaskan Pemkot memahami keresahan warga dan telah membahas persoalan ini secara internal. Menurutnya, angka 1.000% yang beredar tidak sesuai fakta di lapangan.
“Kalau memang ada kenaikan, nilainya tidak sampai segitu. Kami sudah membicarakan ini di internal dan akan melakukan kajian ulang. Mudah-mudahan hasilnya nanti sesuai harapan masyarakat,” ujarnya, Jumat (15/8/2025).
Effendi menyebut proses evaluasi ini akan dilakukan secara menyeluruh, mulai dari dampak ekonomi terhadap wajib pajak hingga potensi penyesuaian nilai pajak.
Baca Juga
Namun, dia menekankan, perubahan tidak bisa dilakukan instan karena harus melewati prosedur resmi, termasuk kemungkinan revisi regulasi. “Semua harus berproses. Kami akan evaluasi secara komprehensif. Kalau memang diperlukan penyesuaian, Pemkot sangat terbuka untuk itu,” tambahnya.
Menurut Effendi, tantangan terbesar adalah mencari titik tengah antara kebutuhan anggaran pembangunan dengan kemampuan masyarakat membayar pajak. Dia mengisyaratkan bahwa keputusan akhir harus mempertimbangkan dua sisi tersebut agar adil dan proporsional.
“Kalau hanya melihat dari satu sisi, baik itu sisi penerimaan daerah atau beban masyarakat, kebijakan akan timpang. Kami harus mempertahankan keseimbangan,” tegasnya.
Meski sudah berjanji akan menurunkan tarif, Pemkot belum menetapkan jadwal penerapan kebijakan tersebut. Effendi beralasan, kajian teknis dan administratif masih berjalan.
“Kalau diminta tanggal pasti sekarang, saya belum bisa jawab. Yang jelas, prosesnya akan kami percepat, tetapi tetap sesuai aturan,” ungkapnya.
Warga Kota Cirebon, Jawa Barat yang tergabung dalam Paguyuban Pelangi Cirebon mengaku keberatan dengan penetapan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pajak dan Retribusi yang menjadi dasar kenaikan PBB.
Juru Bicara Paguyuban Pelangi Cirebon Hetta Mahendrati mengatakan kebijakan tersebut sangat memberatkan masyarakat dan tidak masuk akal.
“Ya, kami masyarakat Kota Cirebon menolak dengan adanya kebijakan kenaikan PBB sebesar 1.000% yang tertuang dalam Perda Nomor 1 Tahun 2024,” tegas Hetta, Rabu (13/8/2025).
Hetta mengatakan pihaknya pun menyoroti kasus yang terjadi di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, sebagai perbandingan. Di sana, kenaikan PBB sebesar 250% akhirnya dibatalkan. "Kalau di Pati bisa dibatalkan, kenapa di Cirebon tidak bisa juga yang hampir naik 1.000%?” ujar Hetta.
Sejak Januari 2024, warga yang tergabung dalam paguyuban ini terus mengajukan protes ke berbagai pihak. Mulai dari DPRD Kota Cirebon, aksi turun ke jalan, hingga pengiriman aspirasi ke Presiden dan Kementerian Dalam Negeri.
"Kami tidak pernah berhenti berjuang. Kami akan berjuang sampai kapan pun. Kami berharap semua menyuarakan agar perjuangan ini terdengar oleh para petinggi,” kata Hetta.
Hetta mengatakan, pihaknya meminta, pertama, pemerintah agar membatalkan Perda Nomor 1 Tahun 2024 yang menjadi dasar kenaikan PBB-P2 2024–2025 dan mengembalikannya ke tarif PBB tahun 2023.
Kedua, menurunkan pejabat Pemkot yang bertanggung jawab atas terbitnya PBB 2024–2025 karena dianggap tidak mendengarkan aspirasi warga.
Ketiga, mereka meminta Wali Kota Cirebon menunjukkan tindakan nyata dalam tempo satu bulan sejak pertemuan tersebut untuk memenuhi dua tuntutan pertama. Jika tidak, warga siap menggelar aksi turun ke jalan kembali.
Keempat, warga meminta agar Wali Kota tidak menjadikan pajak sebagai komponen terbesar Pendapatan Asli Daerah (PAD), melainkan mencari sumber pendapatan lain, melakukan efisiensi, dan menutup kebocoran anggaran.