Bisnis.com, INDRAMAYU- Kabupaten Indramayu didaulat sebagai wilayah dengan perokok yang paling banyak menghisap rokok, yaitu 95,32 batang per minggu alias 13–14 batang per hari di Jawa Barat.
Angka ini menempatkan Indramayu sebagai daerah dengan konsumsi rokok tertinggi di antara kabupaten/kota lainnya di provinsi tersebut.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Barat Darwis Sitorus mengungkapkan data ini berdasarkan hasil penghitungan BPS tahun 2024 yang memotret perilaku perokok di sejumlah daerah.
Menurutnya, rata-rata konsumsi rokok di Jawa Barat berada pada kisaran 76,11 batang per minggu atau sekitar 10–11 batang per hari.
“Indramayu menempati posisi pertama dengan jumlah konsumsi rokok paling tinggi. Jika dirata-ratakan, seorang perokok di sana bisa menghabiskan hingga hampir satu bungkus setiap hari,” ujar Darwis, Selasa (19/8/2025).
Berdasarkan data BPS Jabar, setelah Indramayu, posisi berikutnya ditempati oleh Kabupaten Subang dengan rata-rata 91,89 batang per minggu, disusul Karawang 89,45 batang per minggu, Kuningan 89,37 batang per minggu, dan Purwakarta 83,89 batang per minggu.
Baca Juga
Darwis menilai angka tersebut cukup mencolok karena konsumsi rokok di Indramayu melampaui rata-rata provinsi. Kondisi ini dinilai bukan hanya persoalan gaya hidup, tetapi juga berkaitan dengan aspek kesehatan, ekonomi rumah tangga, serta masa depan generasi muda.
“Kalau dihitung dengan harga rokok saat ini, pengeluaran seorang perokok di Indramayu bisa mencapai ratusan ribu rupiah per bulan. Padahal dana sebesar itu bisa dialokasikan untuk kebutuhan lain seperti pangan bergizi, pendidikan anak, atau tabungan masa depan,” jelas Darwis.
Menurut BPS, rokok masih menjadi salah satu komoditas yang memberikan kontribusi besar terhadap pola pengeluaran rumah tangga. Di sejumlah daerah, rokok bahkan menempati urutan tinggi dalam daftar konsumsi setelah beras dan kebutuhan pokok lainnya.
Darwis mengingatkan, tingginya konsumsi rokok dapat memperburuk masalah kesehatan masyarakat. Penyakit akibat rokok seperti kanker paru-paru, jantung, hingga stroke, menjadi beban biaya kesehatan yang tidak kecil bagi keluarga maupun negara.
“Dampak dari rokok ini bukan hanya pada individu, tapi juga membebani sistem kesehatan kita. Kalau angka konsumsi terus naik, maka risiko biaya kesehatan yang harus ditanggung masyarakat maupun pemerintah akan semakin besar,” katanya.
Selain masalah ekonomi dan kesehatan, tingginya konsumsi rokok juga mencerminkan tantangan sosial di masyarakat. Menurut Darwis, fenomena merokok sering kali dianggap sebagai bagian dari gaya hidup atau simbol pergaulan, terutama di kalangan usia muda.
“Ini yang menjadi kekhawatiran, karena generasi muda cenderung mudah terpengaruh. Kalau sejak remaja sudah terbiasa merokok, maka akan sulit menghentikan kebiasaan tersebut di usia dewasa,” ujarnya.
Ia menambahkan, edukasi tentang bahaya merokok perlu terus digencarkan agar masyarakat semakin sadar. BPS Jabar sendiri mendukung kampanye pengendalian konsumsi rokok dengan data statistik sebagai dasar perumusan kebijakan.
Darwis menilai, data yang dipublikasikan BPS seharusnya menjadi rujukan bagi pemerintah daerah dalam mengambil langkah pengendalian. Program penyuluhan kesehatan, penyediaan ruang publik tanpa rokok, serta kebijakan pembatasan iklan rokok perlu diperkuat.
“Kalau kita bicara data, jelas konsumsi rokok di beberapa kabupaten masih tinggi. Ini menjadi pekerjaan rumah bagi semua pihak, mulai dari pemerintah, lembaga kesehatan, hingga masyarakat sendiri,” tuturnya.
Berdasarkan catatan BPS, konsumsi rokok di Jawa Barat tidak hanya menimbulkan dampak kesehatan, tetapi juga memiliki dimensi ekonomi yang luas. Indramayu, sebagai daerah dengan tingkat konsumsi tertinggi, menjadi sorotan dalam upaya pengendalian kebiasaan merokok di tingkat provinsi.
“Kalau belum merokok, sebaiknya dipertahankan. Kalau sedang berusaha berhenti, jangan menyerah. Data ini menjadi pengingat bagi kita semua bahwa merokok bukan sekadar soal gaya, tapi soal kesehatan, pengeluaran, dan masa depan,” pungkas Darwis.