Bisnis.com, CIREBON - Produksi tebu di Kabupaten Cirebon mengalami kenaikan signifikan pada 2024 di tengah lonjakan harga gula pasir di pasar nasional.
Data terbaru menunjukkan produksi tebu pada tahun ini mencapai 21.305,68 ton, naik 29,7% dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya 16.421,92 ton.
Dalam catatan Badan Pusat Statistik (BPS), peningkatan ini juga diiringi dengan bertambahnya luas areal perkebunan tebu dari 3.450,45 hektare pada 2023 menjadi 4.571,55 hektare pada 2024.
Kenaikan produksi ini menjadi kabar baik bagi para petani tebu, terutama di tengah naiknya harga gula yang saat ini berada di atas Rp17.000 per kilogram di beberapa daerah. Namun, di balik peluang tersebut, masih ada sejumlah tantangan yang dihadapi petani, mulai dari biaya produksi yang meningkat hingga ketergantungan pada pabrik gula dalam proses pengolahan.
Kepala Bidang Hortikultura dan Perkebunan Dinas Pertanian Kabupaten Cirebon Durahman mengatakan, selain faktor harga, beroperasinya kembali Pabrik Gula (PG) Sindanglaut setelah sempat tutup sejak 2020 juga berkontribusi pada peningkatan produksi tebu.
Pengoperasian kembali pabrik ini memberikan kepastian bagi petani mengenai tempat penggilingan tebu mereka, sehingga mendorong mereka untuk kembali menanam tebu.
Baca Juga
"Petani banyak yang beralih ke tebu karena melihat prospek yang lebih menguntungkan. Tahun lalu, harga gula relatif stabil, tetapi tahun ini naik cukup signifikan, membuat tebu menjadi komoditas yang lebih menarik dibandingkan padi atau jagung," kata Durahman, Jumat (7/3/2025).
Selain ekspansi lahan, faktor cuaca yang lebih bersahabat juga berperan dalam peningkatan produksi. Curah hujan yang cukup dan distribusi air yang lebih baik tahun ini mendukung pertumbuhan tebu lebih optimal dibandingkan musim sebelumnya yang sempat terdampak kemarau panjang.
"Musim hujan tahun ini cukup baik, tidak terlalu ekstrem seperti tahun-tahun sebelumnya. Ini membantu dalam masa pertumbuhan tebu, terutama saat pembentukan gula di batang," kata Suryanto.
Dengan harga gula yang lebih tinggi, keuntungan yang didapat petani tebu ikut terdongkrak. Namun, tidak semua petani bisa langsung merasakan keuntungan tersebut. Beberapa petani mengeluhkan bahwa harga tebu di tingkat pabrik masih belum mencerminkan kenaikan harga gula di pasar.
Ia menjelaskan, petani tebu umumnya menjual hasil panennya ke pabrik gula dengan sistem kemitraan, di mana harga tebu ditentukan oleh pabrik berdasarkan rendemen atau kadar gula dalam tebu. Semakin tinggi rendemen, semakin tinggi harga yang diterima petani.
"Kalau harga gula naik, seharusnya harga tebu juga ikut naik. Tapi kami masih menjual ke pabrik dengan harga yang belum terlalu berbeda dibanding tahun lalu," ujar Rahmat, seorang petani tebu.
"Kami berharap ada transparansi dan penyesuaian harga dari pihak pabrik. Kalau harga gula naik, seharusnya harga tebu juga menyesuaikan, supaya kami juga bisa menikmati keuntungannya," tambah Rahmat.
Di balik kabar baik kenaikan produksi, petani masih menghadapi berbagai tantangan dalam budidaya tebu. Salah satu tantangan terbesar adalah meningkatnya biaya produksi, terutama untuk pupuk dan tenaga kerja.
Menurut Rahmat, harga pupuk tahun ini mengalami kenaikan sekitar dibanding tahun sebelumnya. Hal ini menjadi beban bagi petani, mengingat tebu adalah tanaman yang memerlukan pemupukan intensif untuk mencapai rendemen tinggi.
Selain itu, proses panen dan pengolahan tebu juga masih menghadapi kendala efisiensi. Beberapa petani masih bergantung pada metode manual, yang memerlukan lebih banyak tenaga kerja dan waktu.
"Pabrik gula di Cirebon sebenarnya sudah cukup berkembang, tapi antrian pengolahan masih panjang, terutama saat musim giling tiba. Ini membuat kami harus menunggu lebih lama untuk mendapatkan pembayaran," kata Rahmat.