Bisnis.com, CIREBON - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat rata-rata pengeluaran per kapita masyarakat Kabupaten Cirebon pada 2024 mencapai Rp1,33 juta per bulan.
Dari jumlah tersebut, lebih dari separuh atau sekitar 52,88% (Rp707.634) dialokasikan untuk konsumsi makanan, sedangkan sisanya, 47,12% (Rp630.462), digunakan untuk kebutuhan nonmakanan.
Dalam catatan tersebut, pengeluaran terbesar dalam kategori makanan justru bukan untuk bahan pangan pokok, melainkan makanan dan minuman jadi yang mencapai 22,42% atau sekitar Rp299.998 per bulan.
Sementara itu, konsumsi rokok berada di angka 6,88%, bahkan lebih tinggi dibandingkan pengeluaran untuk beras dan bahan pangan pokok lainnya yang hanya sebesar 6,07%.
Di sisi lain, dalam kategori nonmakanan, sektor perumahan dan fasilitas rumah tangga menyedot 21,99% dari total pengeluaran masyarakat Cirebon.
Kepala BPS Kabupaten Cirebon Judiharto Trisnadi dalam Kabupaten Cirebon Dalam Angka 2024 menyebutkan data tersebut mencerminkan tren konsumsi yang problematik.
Baca Juga
"Jika kita lihat, masyarakat lebih banyak menghabiskan uang untuk makanan dan minuman jadi dibandingkan bahan pangan pokok. Ini menunjukkan pola konsumsi semakin bergeser ke arah yang lebih instan, yang bisa jadi dipengaruhi oleh perubahan gaya hidup dan kebiasaan makan di luar rumah,” ungkapnya.
Judiharto menyoroti ketergantungan terhadap makanan jadi bisa menjadi indikasi meningkatnya ekonomi masyarakat, tetapi juga bisa menjadi sinyal kemunduran jika tidak diimbangi dengan kesadaran konsumsi yang sehat.
“Makanan cepat saji dan minuman kemasan sering kali lebih mahal dibandingkan memasak sendiri. Ini berpotensi menekan daya beli masyarakat dalam jangka panjang, terutama bagi kelompok berpenghasilan rendah,” jelasnya.
Hal yang lebih mengkhawatirkan adalah besarnya proporsi pengeluaran untuk rokok. Dengan rata-rata 6,88%, ini berarti sebagian besar rumah tangga masih mengalokasikan dana yang tidak sedikit untuk konsumsi produk tembakau.
Judiharto menganggap tren ini sebagai cerminan dari kurangnya kesadaran finansial dan kesehatan di kalangan masyarakat.
"Pengeluaran untuk rokok yang lebih besar daripada untuk bahan pangan pokok menunjukkan adanya distorsi prioritas dalam konsumsi rumah tangga. Ini ironis, mengingat beras adalah kebutuhan dasar, sedangkan rokok adalah kebutuhan tersier yang justru merugikan kesehatan,” tegasnya.
Lebih lanjut, ia menambahkan jika pengeluaran untuk rokok dialihkan ke kebutuhan lain, misalnya pendidikan atau tabungan, maka tingkat kesejahteraan masyarakat bisa lebih meningkat.
“Sayangnya, kebiasaan merokok sudah mengakar kuat dan sulit dikendalikan, bahkan meskipun harga rokok terus naik akibat cukai yang semakin tinggi,” imbuhnya.
Selain konsumsi makanan dan rokok, pengeluaran nonmakanan yang paling tinggi adalah sektor perumahan dan fasilitas rumah tangga, yang mencapai 21,99% dari total pengeluaran masyarakat.
Ini menunjukkan biaya tempat tinggal dan kebutuhan rumah tangga masih menjadi beban utama bagi warga Cirebon.
Menurut Judiharto, tingginya biaya perumahan ini bisa disebabkan oleh beberapa faktor, seperti harga sewa yang meningkat, biaya listrik dan air yang terus naik, serta minimnya akses terhadap perumahan yang terjangkau.
“Saat proporsi pengeluaran untuk tempat tinggal terlalu besar, maka ruang untuk membelanjakan uang di sektor lain menjadi semakin sempit. Ini bisa berdampak pada rendahnya daya beli masyarakat terhadap kebutuhan lain seperti pendidikan, kesehatan, dan investasi masa depan,” katanya.
Dari data tersebut, terlihat pola konsumsi masyarakat Cirebon masih mencerminkan ketimpangan ekonomi yang cukup besar. Sementara sebagian besar pengeluaran habis untuk konsumsi makanan dan tempat tinggal, sektor produktif seperti pendidikan dan kesehatan justru tidak banyak mendapat alokasi.
Judiharto menilai pemerintah daerah perlu lebih aktif dalam mengedukasi masyarakat mengenai pengelolaan keuangan rumah tangga yang lebih sehat.
“Kita butuh kebijakan yang mendorong masyarakat untuk mengalokasikan dana ke sektor-sektor yang lebih produktif, bukan hanya konsumsi jangka pendek. Misalnya, ada program insentif bagi rumah tangga yang menabung atau berinvestasi dalam pendidikan,” katanya.