Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Genteng Jatiwangi Jadi Syarat untuk Proyek Bangunan Negara di Majalengka

Di tengah gempuran atap-atap modern seperti galvalum dan spandek yang lebih ringan dan murah, Bupati Majalengka Eman Suherman memilih untuk melawan arus.
Genteng Jatiwangi/Antara
Genteng Jatiwangi/Antara

Bisnis.com, MAJALENGKA - Pemerintah Kabupaten Majalengka tengah berupaya mengembalikan kejayaan genteng Jatiwangi, sebuah produk lokal yang pernah menjadi ikon ekonomi sekaligus simbol budaya daerah. 

Di tengah gempuran atap-atap modern seperti galvalum dan spandek yang lebih ringan dan murah, Bupati Majalengka Eman Suherman memilih untuk melawan arus.

Ia menginstruksikan agar seluruh bangunan milik pemerintah, baik yang sedang dibangun maupun yang akan direnovasi, wajib menggunakan genteng produksi Jatiwangi. 

Kebijakan ini dianggap sebagai langkah nyata dalam merawat peninggalan budaya nenek moyang sekaligus melindungi ekonomi lokal dari ancaman kepunahan industri genteng tradisional.

“Kita sedang melawan lupa. Genteng Jatiwangi bukan hanya atap rumah, tapi simbol ketekunan warga, kekuatan tradisi, dan warisan sejarah. Kita ingin menjadikannya brand daerah, seperti dulu,” ujar Eman Suherman ditemui di Kabupaten Kuningan, Kamis (19/6/2025).

Jatiwangi, sebuah kecamatan di Majalengka, dikenal sebagai salah satu sentra produksi genteng tanah liat terbesar di Indonesia. Produknya dipasarkan hingga luar Jawa, bahkan sempat diekspor ke Asia Tenggara. 

Namun dalam dua dekade terakhir, kejayaan itu perlahan memudar. Pabrik-pabrik kecil berguguran. Generasi muda mulai enggan mewarisi profesi sebagai pembuat genteng. Dan di sisi lain, permintaan terhadap atap tradisional terus menurun akibat penetrasi pasar material modern.

Bupati Eman memandang kondisi ini sebagai panggilan untuk bertindak. Menurutnya, genteng Jatiwangi bukan semata komoditas ekonomi, melainkan identitas kultural yang perlu dijaga. 

Dalam narasinya, ia menolak pendekatan ekonomi murni yang hanya menilai efisiensi biaya tanpa melihat dampaknya terhadap keberlangsungan budaya dan ekonomi lokal.

“Saya wajibkan penggunaan genteng Jatiwangi di setiap proyek pemerintah. Ini bukan instruksi simbolis, tapi bentuk afirmasi kepada pelaku industri rakyat. Kalau kita sendiri tidak percaya pada produk kita, siapa lagi?” tegasnya.

Meski kebijakan itu diapresiasi banyak pihak, para pelaku industri genteng tetap menghadapi tantangan berat. Salah satunya adalah kompetisi harga. 

Genteng tanah liat yang diproduksi secara tradisional kalah bersaing dengan produk modern yang lebih ringan, lebih cepat dipasang, dan harganya lebih terjangkau.

Menurut para pengrajin di Jatiwangi, biaya produksi genteng tanah liat terus meningkat, apalagi karena bahan baku tanah liat kian sulit didapat. Belum lagi ongkos distribusi yang tinggi karena infrastruktur logistik belum sepenuhnya mendukung.

Dalam hal ini, Bupati Majalengka juga menyoroti perlunya dukungan dari lembaga strategis seperti Bank Indonesia. Ia menyampaikan harapan agar BI tidak hanya fokus pada digitalisasi UMKM, tetapi juga pada revitalisasi industri kerakyatan berbasis budaya lokal.

“Kami butuh dukungan konkret. Industri genteng ini bisa diberi akses ke pembiayaan murah, pelatihan teknologi produksi ramah lingkungan, hingga promosi skala nasional. Jangan biarkan ini mati hanya karena kalah dalam logika efisiensi,” tambah Eman.

Kebijakan afirmatif yang ditempuh Bupati Eman menjadi contoh bagaimana pemerintah daerah bisa menciptakan pasar sendiri untuk produk lokal. Alih-alih menunggu permintaan dari swasta atau publik, ia memulai dari struktur birokrasi.

Ketika semua bangunan pemerintah, mulai dari kantor desa hingga fasilitas kesehatan dan pendidikan, menggunakan genteng lokal, maka permintaan dasar akan terbentuk.

Tak hanya itu, Bupati Eman juga menggandeng pelaku seni dan komunitas kreatif untuk merevitalisasi citra genteng Jatiwangi. Festival seni dan budaya berbasis material genteng, yang dikenal dengan Jatiwangi Art Factory, menjadi salah satu mitra strategis dalam menyuntikkan nilai tambah non-ekonomi ke dalam produk lokal ini.

Bupati Eman ingin genteng tidak hanya bertahan sebagai bahan bangunan, tetapi menjadi bagian dari diplomasi budaya. Ia membayangkan satu hari nanti, ketika orang menyebut Majalengka, yang teringat bukan hanya bandara internasional atau wisata alamnya, tetapi atap-atap tanah merah menyimpan sejarah kerja keras nenek moyang.

“Kita harus bangga. Genteng kita tidak hanya menutup rumah, tapi membuka masa depan. Genteng bisa jadi cerita, jadi diplomasi, jadi warisan ekonomi yang berkelanjutan,” pungkas Eman.

Sejak awal abad ke-20, genteng telah menjadi identitas kuat kawasan ini, tidak hanya sebagai produk konstruksi rumah, tetapi juga simbol kejayaan ekonomi masyarakat setempat.

Kini, setelah puluhan tahun mengalami penurunan produksi, suara-suara dari pemerintah daerah dan komunitas seniman kembali menghidupkan semangat itu, menolak membiarkan warisan genteng tertimbun zaman.

Industri genteng Jatiwangi pertama kali diperkenalkan pada 1905 oleh seorang pengusaha Belanda bernama Jan A. Lugten, yang membangun pabrik modern dengan sistem produksi terencana.

Pabrik itu memanfaatkan tanah liat berkualitas tinggi yang tersebar di Jatiwangi, menjadikannya sentra produksi genteng terkemuka di Hindia Belanda. Dalam waktu singkat, genteng buatan Jatiwangi merambah ke berbagai penjuru Nusantara, bahkan dikenal memiliki daya tahan tinggi dan mutu yang stabil.

Memasuki era 1950 hingga 1980-an, Jatiwangi mencapai puncak kejayaan sebagai sentra industri genteng terbesar di Asia Tenggara. Ribuan warga menggantungkan hidup dari pembuatan genteng, baik sebagai buruh harian, pemilik tungku, hingga pengusaha rumahan.

Keberadaan industri ini mendorong pertumbuhan ekonomi lokal secara signifikan, menjadikan Jatiwangi bukan hanya desa produksi, tetapi juga etalase keunggulan genteng Indonesia.

Namun geliat itu mulai meredup ketika tren material bangunan bergeser pada dekade 2000-an. Genteng metal, beton, hingga atap ringan mulai merebut pasar, ditambah dengan gempuran pembangunan vertikal di kota-kota besar yang tak lagi menggunakan atap tradisional. 

Banyak pengrajin mulai gulung tikar, dan tanah-tanah lempung pun mulai terkikis, baik karena eksploitasi maupun konversi lahan. Tanpa adaptasi teknologi dan regenerasi tenaga kerja, industri genteng Jatiwangi nyaris berhenti.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Hakim Baihaqi
Editor : Ajijah

Topik

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper