Bisnis.com, CIREBON - Kabupaten Cirebon dinilai belum cukup atraktif bagi investor padat modal dan padat teknologi meski digadang-gadang sebagai kawasan strategis dalam koridor ekonomi Rebana, Jawa Barat.
Rendahnya kesiapan sumber daya manusia, lambatnya reformasi perizinan, serta minimnya kebijakan insentif menjadikan Cirebon tertinggal dibanding daerah lain seperti Karawang atau Bekasi.
Pengamat ekonomi Universitas Pasundan, Acuviarta Kartabi menilai meskipun potensi kawasan ini besar, realisasi investasi yang signifikan belum terlihat.
"Cirebon belum menjadi magnet bagi investasi high-end. Saat ini, sebagian besar investasi yang masuk masih didominasi oleh sektor padat karya atau pengolahan skala menengah,” ujar Acuviarta, Jumat (20/6/2025).
Menurutnya, kendati Cirebon memiliki keunggulan geografis dan infrastruktur dasar, daya saingnya belum maksimal. Keberadaan Bandara Internasional Kertajati dan konektivitas ke Pelabuhan Patimban belum mampu mendorong lonjakan investasi seperti yang diharapkan.
Acuviarta menyebutkan, salah satu penghambat utama investasi sektor padat modal adalah kualitas sumber daya manusia yang belum memenuhi standar industri berteknologi tinggi.
Baca Juga
“Kita bicara soal industri otomasi, robotik, manufaktur presisi. Itu semua butuh SDM terlatih, bukan hanya buruh kasar,” katanya.
Ia menilai pemerintah daerah belum cukup progresif dalam menyiapkan pendidikan vokasi yang sesuai kebutuhan industri. Padahal, menurutnya, jika ingin bersaing dengan kawasan industri lain di Jawa Barat, Cirebon tidak bisa hanya mengandalkan keunggulan geografis dan upah murah.
Dalam kerangka proyek Rebana Metropolitan yang mencakup tujuh wilayah termasuk Cirebon, Majalengka, dan Subang, Kabupaten Cirebon disebut-sebut sebagai salah satu titik penting. Namun, hingga saat ini, realisasi kawasan industri strategis masih stagnan.
“Dari 13 kawasan investasi yang dirancang di Rebana, kontribusi Cirebon belum dominan. Justru kita lihat akselerasi pembangunan lebih cepat di Majalengka dan Subang, yang agresif membuka ruang untuk investor besar,” kata Acuviarta.
Ia menegaskan posisi Cirebon sebagai hinterland seharusnya dimanfaatkan untuk membangun sistem rantai pasok yang kuat. Namun sayangnya, hingga kini belum ada langkah nyata dari Pemkab Cirebon untuk membangun kawasan industri terintegrasi yang didukung regulasi pro-investasi.
Masalah klasik lain yang disorot adalah lambannya proses perizinan dan tidak adanya skema insentif yang menarik.
“Investor itu pragmatis. Mereka ingin kecepatan, kepastian hukum, dan efisiensi biaya. Kalau izin masih berbelit dan tidak ada kejelasan insentif pajak atau lahan, ya mereka akan lari ke tempat lain,” kata Acuviarta.
Ia juga mengkritisi absennya one-stop service yang benar-benar berjalan efektif di Kabupaten Cirebon. Menurutnya, sistem perizinan yang terdesentralisasi dan tumpang tindih antarinstansi membuat proses investasi berisiko tinggi dan tidak ramah bagi investor asing.
Di tengah keterbatasan dalam menarik investasi berskala besar, Acuviarta mendorong agar Pemkab Cirebon tidak melupakan pengembangan industri rumah tangga dan UMKM.
Menurutnya, sektor ini bisa menjadi tulang punggung ekonomi lokal jika didukung dengan pelatihan, pembiayaan, dan integrasi ke rantai pasok industri besar.
“Kalau industri besar belum bisa masuk, maka kita harus perkuat dari bawah. Bangun koperasi modern, fasilitasi pelatihan, dorong digitalisasi UMKM. Ini bisa jadi fondasi ekonomi lokal yang tahan guncangan,” katanya.
Ia juga mengingatkan pentingnya program link and match antara dunia pendidikan dan dunia industri agar tenaga kerja lokal tidak hanya menjadi penonton dalam pembangunan kawasan industri.
Mimpi menjadikan Cirebon sebagai pusat industri padat karya tidak akan tercapai jika pemerintah daerah tidak mengambil langkah konkret. Mulai dari perbaikan tata kelola birokrasi, modernisasi infrastruktur pendukung, hingga investasi pada pengembangan SDM.
“Tidak cukup hanya menunggu efek limpahan dari kawasan Rebana. Cirebon harus agresif menyusun strategi jangka menengah dan panjang. Kalau tidak, kawasan ini hanya akan jadi daerah transit, bukan destinasi investasi,” pungkasnya.