Bisnis.com, CIREBON - Perusahaan-perusahaan berskala besar di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat mengalami kekurangan operator alat berat yang memiliki sertifikasi resmi, termasuk yang telah tersertifikasi ISO. Kondisi ini dinilai menghambat efisiensi kerja industri serta berisiko terhadap keselamatan dan regulasi ketenagakerjaan.
Hal ini diungkapkan Kepala Dinas Ketenagakerjaan (Disnaker) Kabupaten Cirebon Novi Hendrianto saat ditemui dalam acara pembinaan K3 dan sertifikasi operator pesawat angkat di Balai Latihan Kerja (BLK), Kecamatan Plumbon, Kabupaten Cirebon, Senin (23/6/2025).
Menurutnya, banyak perusahaan di wilayah Cirebon memiliki jumlah alat berat yang memadai. Namun, tidak dibarengi dengan kecukupan jumlah operator bersertifikasi.
“Contoh, kami temukan satu perusahaan punya 10 unit alat berat, seperti forklift, tapi hanya dua unit yang dijalankan oleh operator bersertifikasi. Artinya, 80% masih dioperasikan oleh tenaga yang belum memiliki surat izin operasi atau SIO,” ujar Novi.
Ia menjelaskan, kekurangan tenaga operator bersertifikasi ini tidak hanya menciptakan potensi risiko kecelakaan kerja, tetapi juga menghambat produktivitas dan standar kualitas perusahaan yang sudah mengantongi International Organization for Standardization (ISO).
“Perusahaan dengan standar ISO tentu punya prosedur mutu yang ketat. Tapi bila SDM operatornya tidak tersertifikasi, itu menjadi inkonsistensi dalam sistem manajemen mutu,” kata dia.
Baca Juga
Menurut Novi, operator alat berat wajib memiliki sertifikat kompetensi kerja yang dikeluarkan oleh lembaga pelatihan atau sertifikasi resmi yang telah terakreditasi.
Sertifikasi tersebut merupakan syarat mutlak berdasarkan regulasi keselamatan dan kesehatan kerja (K3) yang diatur dalam Permenaker Nomor 08 Tahun 2020 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Pesawat Angkat dan Angkut.
Namun, Novi menyebut, kesadaran dan akses terhadap pelatihan masih terbatas di kalangan buruh alat berat maupun perusahaan.
“Banyak pekerja informal, terutama di sektor logistik dan konstruksi, tidak mengetahui pentingnya sertifikasi. Padahal ini akan memudahkan mereka mendapat pekerjaan yang lebih layak di masa depan,” ujarnya.
Menjawab persoalan tersebut, Disnaker Kabupaten Cirebon telah menyiapkan program pelatihan bersertifikasi melalui balai latihan kerja (BLK). Pelatihan ini dirancang agar para operator tidak hanya mahir secara teknis, tetapi juga paham secara literasi terhadap aspek regulasi, keselamatan, dan standar industri.
“Kami tidak hanya melatih tangan mereka agar cekatan, tapi juga menanamkan literasi industri. Artinya, mereka mengerti bagaimana bekerja sesuai standar, termasuk keselamatan kerja, komunikasi, hingga dokumentasi,” terang Novi.
BLK juga mulai membuka kelas khusus operator forklift dan ekskavator bekerja sama dengan lembaga pelatihan industri (LPI) yang sudah tersertifikasi BNSP (Badan Nasional Sertifikasi Profesi).
Salah satu tantangan dalam perluasan sertifikasi operator adalah persoalan biaya. Sertifikasi kompetensi alat berat bisa menelan biaya jutaan rupiah per orang, sementara tidak semua tenaga kerja mampu menanggungnya.
Untuk itu, Disnaker mendorong perusahaan agar menyalurkan dana tanggung jawab sosial (CSR) untuk mendanai pelatihan dan sertifikasi tenaga operator.
“Saya minta perusahaan alokasikan dana CSR-nya untuk mendukung pelatihan tenaga kerja. Ini investasi jangka panjang yang bukan hanya bermanfaat bagi perusahaan, tetapi juga masyarakat sekitar. Apalagi perusahaan juga akan merasakan langsung dampaknya dari segi produktivitas dan keamanan kerja,” tegas Novi.
Ia menegaskan, pelatihan tenaga kerja sejalan dengan misi pemerintah dalam mendorong industri berkelanjutan dan pengurangan pengangguran terselubung di sektor informal.
Novi juga mengingatkan, perusahaan yang tidak mematuhi regulasi tentang operator bersertifikasi dapat dikenai sanksi administratif hingga penutupan kegiatan tertentu.
Pemerintah Provinsi Jawa Barat melalui Dinas Tenaga Kerja juga melakukan pengawasan langsung secara periodik terhadap implementasi standar tenaga kerja di perusahaan berskala besar.
“Sanksi jelas ada dan pengawasan ini tidak bisa disepelekan karena menyangkut keselamatan kerja dan kelangsungan operasional perusahaan,” tandasnya.