Bisnis.com, INDRAMAYU - Kepala Badan Percepatan Penanganan Kemiskinan (BP Taskin) Budiman Sudjamitko menyebutkan Indramayu dinilai perlu segera menempuh jalur industrialisasi pertanian untuk mengurangi angka kemiskinan yang masih tinggi.
Budiman menyebutkan pendekatan lama berbasis program bantuan sesaat tidak lagi cukup. Transformasi ekonomi berbasis ekosistem lokal dinilai lebih tepat untuk menjawab tantangan struktural.
Dalam upaya pengentasan kemiskinan ini, BP Taskin dan Pemerintah Kabupaten Indramayu akan menggunakan skema semi closed-loop supply chain (SCLSC), yaitu model ekonomi yang dikembangkan dalam Rencana Induk 2025–2029.
"Skema tersebut dirancang untuk menghubungkan pelaku usaha dari hulu ke hilir, mulai dari petani, koperasi, UMKM, hingga dukungan pemerintah dan swasta," kata Budiman, Kamis (21/8/2025).
Menurut Budiman Sudjatmiko, persoalan kemiskinan bukan sekadar urusan bantuan langsung, melainkan masalah struktural yang perlu dipecahkan lewat cara sistemik, berkelanjutan, dan lintas sektor.
Ia menegaskan, industrialisasi pertanian merupakan pintu masuk strategis karena Indramayu memiliki basis pertanian dan perikanan yang kuat.
Baca Juga
Dengan skema SCLSC, petani tidak hanya berhenti pada produksi, tetapi juga diarahkan masuk ke rantai pengolahan pascapanen, distribusi, hingga pemasaran. Pendekatan itu diharapkan mampu meningkatkan produktivitas, menambah nilai jual, memperluas daya saing, dan menciptakan keberlanjutan usaha tani.
“Selama ini petani dan pelaku kecil berjalan sendiri-sendiri. Skema ini akan memaksa terbentuknya jejaring yang kuat, sehingga keuntungan tidak hanya dinikmati segelintir pihak besar, tetapi sampai ke masyarakat kecil,” tegas Budiman.
Bupati Indramayu Lucky Hakim menyambut langkah ini sebagai peluang untuk membongkar kebiasaan lama. Ia menilai selama ini potensi besar Indramayu belum dikelola dalam satu sistem terpadu.
Padahal, daerah pesisir utara Jawa Barat ini dikenal sebagai sentra padi, hortikultura, perikanan, serta UMKM berbasis bahan baku lokal.
“Kalau kita hanya produksi lalu jual mentah, maka petani akan terus dalam posisi lemah. Dengan industrialisasi pertanian, semua sektor bisa bergerak bersama, dari hulu ke hilir. Inilah saatnya membangun jejaring ekonomi baru yang inklusif,” ujar Lucky.
Ia menambahkan, pendekatan SCLSC akan mengurangi ketergantungan petani pada tengkulak dan memperluas akses pasar. Dengan demikian, keuntungan dapat dibagi lebih merata, terutama bagi kelompok masyarakat miskin.
Skema baru ini sejatinya merupakan kritik terhadap model pembangunan lama yang cenderung sektoral. Banyak program bantuan berakhir tanpa dampak signifikan karena tidak diikuti dengan sistem pasar yang kokoh.
SCLSC mencoba menutup celah itu. Dengan mengintegrasikan produksi, pengolahan, dan distribusi, pelaku usaha kecil bisa terhubung ke rantai nilai yang lebih besar. Jika berjalan konsisten, model ini diharapkan menciptakan ekosistem ekonomi lokal yang mandiri, berdaya saing, sekaligus tahan terhadap gejolak pasar.
"Indramayu, yang selama ini dikenal sebagai lumbung pangan, sering kali tertinggal dalam hal industrialisasi. Nilai tambah dari pertanian masih banyak dinikmati di luar daerah karena bahan baku dijual mentah tanpa pengolahan," katanya.
“Indramayu tidak boleh terus bergantung pada pola lama. Industrialisasi pertanian adalah pilihan realistis agar kesejahteraan benar-benar dirasakan sampai tingkat bawah,” tambah Lucky.
Jika berhasil, kata Lucky, Idramayu bukan hanya akan dikenal sebagai daerah penghasil beras, tetapi juga pusat industri pertanian modern yang mampu menyerap tenaga kerja, menciptakan produk bernilai tambah, dan memperkuat daya saing daerah.