Bisnis.com, CIREBON - Produksi teh di Kabupaten Garut mengalami penurunan dalam dua tahun terakhir. Berdasarkan data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Garut, total produksi teh pada tahun 2024 tercatat sebesar 2.798,63 ton.
Angka ini menurun dibandingkan produksi tahun sebelumnya yang mencapai 2.850,45 ton.
Kepala BPS Garut Nevi Hendri mengatakan tren penurunan ini berkorelasi erat dengan menyusutnya luas lahan perkebunan teh di wilayah tersebut.
"Data kami menunjukkan, pada 2023 luas kebun teh di Kabupaten Garut masih 2.457 hektare. Namun pada 2025 ini, luasnya turun menjadi 2.431 hektare. Ini menunjukkan adanya pengurangan sekitar 26 hektare dalam dua tahun terakhir,” kata Nevi, Selasa (20/5/2025).
Menurut Nevi, meskipun angka penyusutannya tampak kecil, dampaknya cukup terasa terhadap produktivitas komoditas teh. Sebab, sebagian besar lahan yang mengalami penyusutan adalah lahan produktif milik petani rakyat maupun perusahaan perkebunan.
“Teh merupakan salah satu komoditas perkebunan andalan Garut. Ketika luasan lahannya berkurang, maka dampaknya langsung terasa pada hasil panen. Terlebih, kebun teh di Garut banyak berada di dataran tinggi yang sangat spesifik dan tidak mudah digantikan oleh tanaman lain,” kata Nevi.
Baca Juga
Secara geografis, produksi teh Garut masih didominasi oleh dua kecamatan utama, yaitu Kecamatan Pendeuy dan Kecamatan Pakenjeng. Kedua wilayah ini dikenal sebagai pusat perkebunan teh dengan kondisi iklim yang mendukung serta kontur lahan yang sesuai untuk budidaya teh.
Kecamatan Pendeuy menyumbang produksi terbesar dengan total 1.261 ton pada tahun 2024. Sementara Kecamatan Pakenjeng mencatatkan produksi sebesar 312 ton. Sisa produksi berasal dari kecamatan lain seperti Cikajang, Cisurupan, dan Bayongbong yang memiliki kebun-kebun teh dalam skala lebih kecil.
“Kontribusi Pendeuy dan Pakenjeng cukup besar, karena selain faktor iklim, di sana juga terdapat beberapa unit pengolahan teh serta kelompok tani yang aktif. Namun, tantangannya adalah menjaga kelestarian lahannya dari konversi menjadi lahan non-perkebunan,” tutur Nevi.
Penurunan luas lahan kebun teh di Garut salah satunya disebabkan oleh alih fungsi lahan ke sektor lain seperti hortikultura, pertanian musiman, bahkan perumahan.
Dalam beberapa tahun terakhir, wilayah Garut bagian selatan mengalami tekanan pembangunan infrastruktur dan perluasan permukiman yang menyentuh area perkebunan.
Berdasarkan pantauan BPS, alih fungsi ini juga dipicu oleh harga jual teh yang fluktuatif di tingkat petani. Beberapa petani memilih beralih ke komoditas lain yang lebih cepat panen dan dinilai lebih menguntungkan seperti cabai, tomat, dan kentang.
“Petani cenderung realistis. Kalau harga teh sedang turun dan biaya pemeliharaannya tinggi, mereka beralih ke tanaman lain yang bisa dipanen dalam waktu singkat. Ini tantangan bagi pemerintah daerah untuk memberikan insentif atau perlindungan harga,” jelas Nevi Hendri.
Turunnya produksi teh tidak hanya berdampak pada petani, tetapi juga pada rantai pasok sektor ekonomi lokal. Usaha pengolahan teh skala kecil, koperasi tani, hingga jasa angkut hasil panen turut merasakan dampaknya. Selain itu, tenaga kerja di sektor ini juga mengalami penyusutan, terutama pekerja harian di kebun teh.
Di sisi lain, penurunan produksi teh juga berimbas pada potensi ekspor. Teh asal Garut selama ini dikenal memiliki kualitas yang baik, dan sebagian di antaranya dikirim ke luar negeri melalui eksportir besar di Jawa Barat. Jika tren ini berlanjut, maka posisi Garut sebagai daerah penghasil teh unggulan bisa terancam.
Menghadapi situasi ini, BPS Garut mendorong adanya kolaborasi lintas sektor antara pemerintah daerah, petani, dan pelaku usaha untuk menjaga keberlangsungan produksi teh.
Beberapa langkah yang dapat diambil antara lain menjaga ketersediaan lahan produktif, memberikan insentif kepada petani teh, serta membentuk sentra-sentra pembibitan tanaman teh unggul.
“Kami percaya teh Garut masih punya potensi besar, baik dari sisi kualitas maupun branding. Namun, perlu ada intervensi kebijakan untuk mencegah lahan teh terus menyusut. Edukasi ke petani juga penting agar mereka tetap bertahan menanam teh dan tidak mudah tergiur tanaman lain yang belum tentu berkelanjutan,” pungkas Nevi Hendri.