Bisnis.com, CIREBON-- Potensi Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) Kertajati sebagai simpul logistik regional dinilai belum tergarap optimal.
Minimnya penerbangan kargo dan lemahnya konektivitas moda transportasi, terutama dengan jaringan kereta api, membuat fungsi strategis bandara ini masih tertahan.
Pengamat Ekonomi dan Bisnis dari Universitas Pasundan, Acuviarta Kartabi, menilai kunci penguatan peran Bandara Kertajati dalam sistem logistik nasional adalah integrasi dengan transportasi darat yang andal dan efisien, terutama jalur kereta api barang.
Baca Juga
“Yang namanya logistik itu kan soal keterhubungan. Kalau bandara tidak didukung moda lanjutan yang kuat, seperti kereta api, ya tidak akan bisa maksimal. Harusnya Bandara Kertajati sejak awal dikembangkan paralel dengan akses rel kereta logistik,” ujar Acuviarta, Jumat (13/6/2025).
Menurutnya, logistik modern sangat mengandalkan efisiensi distribusi dari dan menuju bandara. Jalur kereta api dinilai lebih andal ketimbang truk dalam hal kapasitas dan kecepatan untuk jangkauan menengah hingga jauh.
Terlebih, bandara ini berada di kawasan yang dikelilingi oleh kawasan industri seperti di Cirebon, Majalengka, Subang, dan Indramayu, yang merupakan sumber dan tujuan utama arus barang.
Sejak diresmikan pada 2018, Bandara Kertajati memang sempat digadang-gadang menjadi salah satu bandara tersibuk di Jawa Barat.
Namun dalam beberapa tahun terakhir, operasional bandara di Kecamatan Kertajati, Kabupaten Majalengka itu tidak menunjukkan geliat yang signifikan. Jumlah penerbangan terbatas, dan nyaris tidak ada aktivitas kargo udara yang berarti.
Acuviarta menilai situasi ini menjadi kontraproduktif terhadap harapan awal BIJB sebagai penunjang kawasan Rebana Metropolitan—wilayah strategis pertumbuhan ekonomi baru yang dicanangkan pemerintah provinsi.
“Sejak tahun lalu saja kita lihat operasionalnya sudah sangat minimal. Penerbangan sedikit, tidak ada trafik kargo yang cukup. Padahal, logistik udara itu harusnya bisa menopang aktivitas industri di sekitarnya, termasuk Cirebon dan kawasan pelabuhan Patimban,” ujarnya.
Ia menggarisbawahi, sekalipun BIJB belum beroperasi optimal, potensi tetap ada. Ketiadaan jalur kereta langsung ke BIJB menurut Acuviarta merupakan kekeliruan perencanaan infrastruktur.
Ia membandingkan dengan bandara lain seperti Kualanamu di Medan atau Soekarno-Hatta di Jakarta, yang memiliki akses kereta api langsung sebagai moda pengumpan.
“Bandara sebesar Kertajati seharusnya tidak hanya mengandalkan jalan tol. Moda kereta api bisa mengangkut barang dalam jumlah besar dari kawasan industri langsung ke apron kargo bandara, bahkan juga membawa penumpang dari kota-kota satelit,” ujarnya.
Saat ini, jalur kereta api terdekat dengan BIJB adalah lintas Cirebon–Bandung yang berjarak puluhan kilometer dari lokasi bandara. Dibutuhkan kebijakan nasional dan investasi khusus untuk membangun jalur cabang atau spurline dari lintas utama menuju Bandara Kertajati
“Peluangnya tetap ada. Apalagi sekarang PT KAI terus memperkuat angkutan barang mereka di wilayah Daop 3 Cirebon. Kalau koneksi ini dibangun, bukan tidak mungkin barang dari Cikarang, Cirebon, bahkan Semarang bisa ditarik ke BIJB untuk ekspor lewat udara,” papar Acuviarta.
“Kita perlu pikirkan dari hulu ke hilir. Jangan hanya bangun bandara lalu berharap ekonomi bergerak sendiri. Harus ada jembatan logistiknya, dan itu peran kereta sangat krusial,” imbuhnya.