Bisnis.com, CIREBON - Pemerintah menngakui Kabupaten Cirebon masih tertatih dalam mengadopsi industri padat modal di tengah geliat pembangunan dan investasi wilayah Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan (Ciayumajakuning).
Daerah ini masih didominasi oleh industri padat karya yang mengandalkan banyak tenaga kerja, sementara kesiapan sumber daya manusia (SDM) dan infrastruktur dinilai belum memadai untuk menopang transformasi industri berbasis teknologi dan otomatisasi.
Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kabupaten Cirebon Dede Sudiono mengakui dominasi industri padat karya masih kuat di Cirebon, seperti di sektor garmen, mebel, dan kerajinan rotan.
Menurutnya, hal ini terjadi karena realitas di lapangan menunjukkan sebagian besar tenaga kerja di Kabupaten Cirebon berasal dari latar belakang pendidikan menengah ke bawah.
“Kami tidak bisa memaksakan industri padat modal masuk kalau SDM kita belum siap. Banyak lulusan SMA atau bahkan hanya lulusan SMP. Kalau bicara padat modal, tentu butuh operator mesin, teknisi, dan SDM yang terampil,” ujar Dede, Jumat (13/6/2025).
Ia menambahkan, infrastruktur juga menjadi hambatan besar. Meski Kabupaten Cirebon terletak di jalur strategis pantai utara (Pantura), ketersediaan listrik industri, koneksi internet berkecepatan tinggi, dan sistem logistik terpadu masih menjadi pekerjaan rumah yang belum tuntas.
Baca Juga
“Listrik industri belum stabil di beberapa kawasan. Kita juga belum punya kawasan industri modern yang siap pakai, misalnya seperti di Karawang atau Bekasi. Investasi padat modal itu tidak bisa jalan kalau prasarana dasarnya masih tambal sulam,” jelasnya.
Fenomena ini menyisakan pertanyaan besar mengenai arah kebijakan industrialisasi Kabupaten Cirebon. Di satu sisi, ketergantungan pada industri padat karya memang membantu menyerap banyak tenaga kerja lokal.
Namun di sisi lain, ketergantungan ini menjadikan Kabupaten Cirebon rawan terhadap gejolak pasar global dan tekanan upah murah.
Selama beberapa tahun terakhir, sektor alas kaki dan rotan kerap menjadi tumpuan utama industri, tapi juga rentan mengalami gejolak. Ketika pesanan ekspor menurun atau terjadi perlambatan ekonomi global, perusahaan-perusahaan di sektor ini tak segan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal.
“Industri padat karya memang menyerap banyak tenaga kerja, tapi juga mudah goyah. Begitu order menurun, ribuan pekerja langsung kena PHK. Ini berkali-kali terjadi,” kata Dede.
Pemerintah daerah, lanjutnya, menyadari risiko ini. Namun langkah untuk mendorong diversifikasi industri menuju padat modal tidak bisa dilakukan secara instan. Dibutuhkan investasi jangka panjang di sektor pendidikan, pelatihan vokasi, hingga pembenahan infrastruktur dasar.
Di tengah keterbatasan tersebut, Kabupaten Cirebon mulai mencoba memperbaiki daya tarik investasinya. Pemetaan kawasan industri baru di bagian timur wilayah, penyederhanaan perizinan melalui sistem digital online single submission (OSS) serta koordinasi lintas sektor menjadi langkah awal.
Selain SDM, isu agraria dan tumpang tindih tata ruang juga menghambat pengembangan kawasan industri padat modal.
Banyak lahan potensial justru berada di wilayah yang secara tata ruang bukan diperuntukkan bagi industri, sehingga memerlukan proses revisi dokumen perencanaan yang memakan waktu.
Situasi ini menimbulkan ironi. Kabupaten Cirebon, yang dikenal sebagai daerah dengan potensi ekonomi tinggi, justru masih bergerak lambat dalam mengejar ketertinggalan dari daerah-daerah industri besar lainnya di Jawa Barat.